Monthly Archives: Mei 2012

Hadiah Uang dalam Produk

Oleh Brilly El-Rasheed

 

 

Sebagai entrepreneur, banyak sekali cara yang dicetuskan dalam bisnis untuk menarik customer sebanyak-banyaknya, salah satunya, menyertakan hadiah uang tunai dalam produk. Kita sering sekali menjumpai hal itu. Sebagai entrepreneur muslim, kita patut mencari hukum trik bisnis tersebut dalam Islam.

Hukum permasalahan ini diperselisihkan oleh fuqaha` (para ulama fiqih). Ada dua pandangan,
Pandangan pertama mengharamkannya, karena menilai bahwa hal ini termasuk dalam transaksi yang oleh para ulama klasik dikenal dengan istilah ‘muddu ajwah wa dirham’. Itu termasuk transaksi tukar-menukar satu jenis komoditi ribawi dengan sesama jenisnya, namun pada salah satu benda komoditi ribawi terdapat benda tambahan nonribawi.

Contohnya kurma dibarter dengan kurma, namun bersama kurma kedua tersebut terdapat tambahan berupa uang tunai. Kurma dibarter dengan kurma adalah barter komoditi ribawi dengan komoditi ribawi sejenis, yang dalam kurma kedua terdapat tambahan yang tidak sejenis dengan komoditi ribawi yang dibarterkan.

Kita cermati hadis dari Fudhalah bin Ubaid dalam perang Khaibar. Beliau membeli kalung emas yang mengandung marjan dengan uang dinar yang terbuat dari emas. Nabi Muhammad mengomentari,

لاَ تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ

“Kalung semacam itu tidak boleh dijual sampai bagian yang bukan emas dipisahkan dari emasnya. [Shahih Muslim no. 4160]

Saat emas ditukar dengan emas, timbangan keduanya harus sama, meskipun kualitas karatnya berbeda dan pada salah satu emas  tidak boleh ada tambahan meski tambahan tersebut berasal dari selain emas. Jika tambahannya berupa emas, berarti terjadi riba fadhl, jadi tetap haram. Sedangkan jika tambahannya itu bukan emas juga tetap haram karena hal ini adalah sarana menuju riba fadhl.

Pandangan kedua, merinci hukum kasus ini dengan meninjau nilai uang yang disertakan. Jika nilainya remeh atau sedikit, menurut ‘urf (penilaian umumnya masyarakat), maka hukumnya adalah tidak mengapa. Misalnya hadiah uang tunai dalam komoditi cuma seribu rupiah atau lima ratus rupiah, sedangkan komoditinya seharga ratusan ribu. Dan hadiah uang tunai seribu rupiah tidak akan menjadi target dan harapan pembeli sehingga transaksi yang terjadi adalah tukar-menukar uang dari pembeli dan komoditi inti dari penjual. Sedangkan hadiah uang tunai yang disertakan dalam komoditi sekedar tambahan yang tidak dimaksudkan dalam transaksi tersebut.

Alasannya, para ulama klasik juga memberikan toleransi untuk tambahan yang remeh dalam transaksi ‘mudd ajwah wa dirham’. Namun apabila hadiah uang tunai tersebut nilainya cukup besar, maka hal ini tidak diperbolehkan karena keberadaan uang hadiah tersebut menjadi tujuan pelaku transaksi, maka transaksi real yang terjadi adalah tukar-menukar uang rupiah dengan uang rupiah, dan pada salah satu uang rupiah terdapat tambahan berupa komoditi yang disertai hadiah uang, sehingga hal ini terlarang karena tergolong kasus ‘mudd ajwah wa dirham’.
Dalam hal ini, penulis condong pada pandangan yang lebih rajih (kuat) yaitu pandangan kedua yang memberi rincian besaran nilai uang yang menjadi hadiah. [Al-Mu’amalah Al-Maliyah Al-Muashirah, Hal. 37]

Posisi Kaki Saat Shalat

Oleh Brilly El-Rasheed

 

Setelah menilik hadits-hadits yang mengisahkan bagaimana Rasulullah shalat, mungkin kita akan menemukan tidak adanya hadits yang sharih (jelas) tentang bagaimana posisi kaki Rasulullah saat berdiri dalam shalat. Untuk menemukan jawabannya, mari kita simak penjelasan berikut.

نص بعض أهل العلم على استحباب الاعتماد على القدمين والاعتدال في القيام إلا للمراوحة من طول القيام….. وكرهوا الاعتماد على رجل واحدة واقتران الرجلين.

Sebagian ulama’ menetapkan akan dianjurkannya bersandar pada dua kaki dan seimbang saat berdiri kecuali untuk istirahat karena lamanya berdiri . . . dan mereka tidak menyukai berdiri dengan bersandar pada satu kaki atau terlalu merapatkan kaki.

قال ابن مايابي الشنقيطي في فتح المنعم شرح زاد المسلم فيما اتفق عليه البخاري ومسلم قال: ويكره رفع الرجل أو وضعها على أخرى، وإقرانها حتى يكون كالمقيد لأن ذلك من العبث، وينافي هيئة الصلاة وما فيها من الشغل الشاغل الوارد في الصحيحين عن ابن مسعود مرفوعاً: “إن في الصلاة شغلاً”.

Ibnu Maayaabi Asy-Syinqithi dalam Fath Al-Mun’im Syarh Zad Al-Muslim berkata pada hadits muttafaqun ‘alaih, “Dibenci mengangkat kaki atau meletakkan salah satunya pada yang lain dan merapatkannya sampai seperti terikat, karena perbuatan tersebut merupakan kesia-siaan, menafikan bahwa kesibukan yang ada di dalam shalat. Sebagaimana ada pada shahihain dari Ibnu Mas’ud secara marfuu’ : “Sesungguhnya di dalam shalat itu ada sesuatu yang menyibukkan.”

وروى النسائي: أن عبد الله بن مسعود رأى رجلاً يصلي قد صف بين قدميه، فقال: (أخطأ السنة)، ولو راوح بينهما كان أحب إلي. .
وعليه فاقتران الرجلين وهو صفهما مخالف للسنة.

An-Nasa`i meriwayatkan, Sesungguhnya ‘Abdullah bin Mas’ud melihat seseorang yang shalat dengan menggabungkan kedua kakinya, maka dikatakan kepadanya, “dia telah menyalahi sunnah” Seandainya dia berdiri dengan kedua kakinya maka itu lebih aku sukai.

Berdasarkan hal ini maka perbuatan merapatkan kedua kaki yaitu dengan menggabungkannya menyelisihi sunnah.

والحاصل: أن المسافة بين القدمين أثناء القيام في الصلاة لا حد لها وإنما يقف المصلي معتدلاً معتمداً على رجليه غير قارن بينهما..ولا بأس بالمراوحة بينهما عند الحاجة.

Kesimpulannya : bahwa jarak antara dua kaki saat berdiri shalat tidak ada batasan khusus. Hanya saja hendaknya seorang yang shalat itu berdiri seimbang dengan bersandar kepada kedua kakinya dengan tanpa merapatkannya. Dan tidak mengapa bersandar pada salah satu diantara keduanya ketika ada hajah/kebutuhan.

Sumber : http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=22953

Adapun ketika shalat jama’ah, maka posisi kaki kita harus kita sesuaikan dengan kaki-kaki jama’ah shalat yang lain, sehingga kaki kita kita buka sedikit lebar sehingga kaki kita saling berdekatan dengan kaki jama’ah shalat yang lain. Ini adalah sunnah Rasulullah. Sama sekali bukan karakter teroris. Lancang sekali jika kita mengatakan merapatkan kaki dalam shaf shalat adalah ciri khas teroris. Jika kita mengatakan demikian, berarti kita menuduh Rasulullah adalah teroris.

brillyelrasheed561.wordpress.com

Khamr Tetap Haram Bagi Siapapun

Oleh Brilly El-Rasheed

 

Sudah menjadi hal yang maklum bahwasanya khamr itu haram dikonsumsi oleh seorang muslim. Jangankan mengkonsumsinya, memproduksi khamr, mengedarkan khamr, menjual khamr, mempromosikan khamr, menyediakan khamr, dan sebagainya, juga diharamkan. Bagaimanapun alasannya, seorang muslim dilarang berpartisipasi dengan pengadaan khamr.

Di sini timbul pertanyaan, seorang nonmuslim itu kan tidak memeluk agama Islam, berarti apakah ada celah bagi kita yang muslim ini untuk andil dalam pengadaan khamr bagi nonmuslim?

Jawabannya, tidak diperbolehkan memperdagangkan hal yang Allah haramkan baik dalam berbentuk makanan atau selainnya semisal khamr, babi, anjing, darah, alat-alat perjudian, alat-alat zina, dan sebagainya, meski dijual kepada orang-orang kafir.

Nabi Muhammad berkata,

إن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه

“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu maka Dia mengharamkan memperjualbelikannya.” [Shahih Al-Bukhari; Shahih Muslim]

لعن صلى الله عليه وسلم الخمر وشاربها وبائعها ومشتريها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنها وعاصرها ومعتصرها

“Nabi melaknat khamr, peminumnya, penjualnya, pembelinya (meski tidak meminumnya, pen.), orang yang menyuguhkannya, orang yang pesan khamr (meski tidak minum, pen.), pemakan hasil jual belinya, pembuatnya (baca: buruh pabrik khamr) dan orang yang memerintahkan pembuatannya (baca: pemilik pabrik khamr).” [Shahih Muslim]

An-Nawawi menjelaskan, “Menjual khamr adalah transaksi yang tidak sah baik penjualnya adalah muslim ataupun non muslim. Demikian pula meski penjual dan pembelinya non muslim ataupun seorang muslim mewakilkan kepada non muslim agar non muslim tersebut membelikan khamr untuk si muslim. Transaksi jual beli dalam semua kasus di atas adalah transaksi jual beli yang tidak sah tanpa ada perselisihan di antara para ulama syafi’iyyah. Sedangkan Al-Imam Abu Hanifah membolehkan seorang muslim untuk memberikan mandat kepada non muslim untuk menjualkan atau membelikan khamr. Pendapat ini jelas pandapat yang keliru karena menyelisihi banyak hadis shahih yang melarang jual beli khamr. Jual beli khamr ataupun memproduksinya dan semisalnya adalah suatu hal yang hukumnya haram dilakukan non muslim sebagaimana haram dilakukan oleh muslim. Demikianlah Mazhab Syafi’i.” [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, 9/227, Al-Maktabah Asy-Syamilah]

Jangankan berpartisipasi dalam pengadaan khamr bagi nonmuslim, dalam pengadaan khamr untuk siapapun, seorang muslim tetap tidak diizinkan. Apalagi membangun pabrik khamr dan bekerja di pabrik khamr tersebut hukumnya haram.

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله –صلى الله عليه وسلم- يقول: أتاني جبريل عليه السلام فقال: يا محمد إن الله عز وجل لعن الخمر وعاصرها وشاربها وحاملها والمحمولة إليه وبائعها ومبتاعها وساقيها أخرجه الهيثمي في (مجمع الزوائد)، وقال: رواه أحمد والطبراني ورجاله ثقات، ورواه أبو داود والحاكم وفيه زيادة: ” ومعتصرها “

Dari Ibnu Abbas, aku mendengar Rasulullah bercerita bahwa Jibril berkata kepadanya, “Ya Muhammad, sesungguhnya Allah itu melaknat khamr, pemeras khamr (baca: pegawai pabrik khamr), peminumnya, pembawanya, pemesan minuman khamr, penjual, pembeli, dan orang yang menuangkannya.” [Hadis ini diriwayatkan Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid dan beliau mengatakan “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani. Para perawinya adalah para perawi yang tsiqoh. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Hakim dengan tambahan ‘orang yang memerintahkan untuk memproduksi khamr’).

Alasan lainnya adalah karena hal tersebut tergolong tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.” [QS. Al Maidah: 2].

Artikel quantumfiqih.wordpress.com

Bijaksana Begitu Mempesona

Oleh Brilly El-Rasheed

Karakter bijaksana senantiasa mencuri perhatian massa. Orang-orang yang bijaksana selalu menarik simpati siapapun yang memandangnya. Mereka diberi kemampuan menyikapi apapun dengan penuh kearifan dan perhitungan yang matang, sehingga di belakang tidak muncul penyesalan yang kadang tak bisa lekang. Mereka pun bisa menikmati kehidupan ini. Hari-harinya tidak disibukkan dengan dramatisasi beratnya terpaan cobaan. Dia sikapi masalah dengan tenang dan proporsional.

Sebagaimana didefinisikan dalam kamus Lisan Al-‘Arab, bahwa orang yang dianugerahi hikmah sangat menguasai masalah apapun secara profesional dan luas pengalamannya. Orang yang dikaruniai hikmah akan jauh dari celaan dan kenistaan, seperti dikatakan Ibnu Hajar dalam Fat-h Al-Bari dimana beliau menafsirkan hikmah sebagai segala sesuatu yang dapat mencegah dari kebodohan dan celaan akibat perbuatan tercela.
Mereka yang disinari Allah dengan cahaya kebijaksanaan (hikmah) tidak risau bila dunia pergi darinya dan tidak terpukau bila harta datang sepenuh pulau. Hati yang dipancari sinar hikmah akan dapat melihat segala sesuatu dari perspektif Al-Qur`an dan As-Sunnah, yang sejatinya keduanya merupakan sumber hikmah, sehingga respon yang diberikannya sebisa mungkin bersih dari noda dosa yang nista. Kalaupun pernah terjatuh dalam lubang dosa, akan segera bisa bangkit bertaubat dan tidak akan lagi terjatuh padanya, sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah, “Seorang mu`min tidak akan tersandung dua kali karena satu batu.” [Shahih Al-Bukhari no. 6133]
Sebelum berbuat, apapun, pemilik karakter hikmah akan mempersiapkan diri menghadapi segala konsekuensi. Senantiasa waspada dari keterpurukan dan ketergelinciran. Nabi Muhammad menyarankan,
وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ
Jangan berucap dengan suatu perkataan yang menjadikan engkau nantinya menyesal.” [Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3363]
Berkenaan dengan hadits ini, ada ucapan Al-Khaththabi yang bagus, “Hendaklah mu`min senantiasa teguh dan waspada, jangan sampai lalai dan tertipu beberapa kali, kadang dalam persoalan din (Islam), sebagaimana dalam persoalan dunia, dan persoalan din lebih utama untuk diwaspadai.” [Fat-h Al-Bari 1/530]
Karenanya pernah kita mendengar Al-Bukhari mengutarakan prinsip hidup yang simple namun penuh manfaat,  “Berilmu sebelum beramal.” Sangat tepat sekali. Atau motto para pakar kesehatan, “Mencegah lebih baik daripada mengobati.” Prinsip yang sangat simbolik-holistik.
Pilar Kebaikan
Beruntunglah orang yang dikaruniai oleh Allah hikmah, karena hikmah adalah karunia kebaikan yang melimpah. “Barangsiapa dianugerahi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.” [Al-Qur`an surah Al-Baqarah no. 269]
Pantaslah bila Allah tidak melarang iri kepada orang-orang yang Allah beri hikmah. Rasulullah menyatakan, “Tidak boleh iri kecuali kepada dua orang; orang yang diberi harta oleh Allah kemudian ia mengalokasikannya dalam kebenaran; dan orang yang dianugerahi hikmah kemudian ia melaksanakan dan mengajarkannya.” [Shahih Al-Bukhari no. 7141]
Hikmah adalah pilar kebaikan, darinya lahir kemuliaan dan keagungan kepribadian muslim. Pemilik hikmah akan memiliki tiga inti akhlak mulia, sebagaimana ditulis Doktor Sa’id Al-Qahthani dalam Al-Khuluq Al-Hasan fi Dhau` Al-Kitab wa As-Sunnah, adil yang dapat mencegah si empunya dari zhalim, hilm (lemah lembut) yang bisa menghindarkan si empunya dari amarah, dan ilmu yang mampu menghalangi si empunya dari sikap bodoh.
Sementara orang yang tidak dikehendaki Allah memiliki hikmah, sehingga ia tidak memiliki tiga inti akhlak mulia itu, maka ia akan jauh dari kemuliaan akhlak. Dalam Madarij As-Salikin 2/294, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan, “Sumber munculnya semua akhlaq yang rendah dan tercela ada empat hal yang menjadi pilar dan penyangganya, (1) Al-Jahlu (kebodohan), (2) Azh-Zhulm (kezhaliman), (3) Asy-Syahwah (syahwat/nafsu yang tak terkendali), (4) Al-Ghadhab (kemarahan).”
Kita berlindung kepada Allah dari terhalang mendapatkan karakter hikmah. Pasalnya, Allah memerintahkan kita untuk menghiasi dakwah dengan hikmah agar dakwah tak berbuah sepah. “Serulah kepada jalan Rabb-mu dengan penuh hikmah dan pelajaran yang baik.” [Al-Qur`an surah An-Nahl no. 125]
‘Ali bin Abi Thalib pernah memberikan masukan kepada para da’i, “Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka mengerti, atau inginkah kalian Allah didustakan?” Apa yang dinyatakan ‘Ali ini merupakan bagian dari dakwah yang bijak, penuh hikmah. Mendakwahkan Islam adalah kebaikan. Tapi kalau metodenya salah, bisa-bisa Islam dianggap sebuah rekayasa belaka.
Begitu urgennya hikmah bagi kejayaan Islam, sampai-sampai Allah membekali Rasulullah dengan hikmah. Yaitu tatkala Rasulullah hendak menjalani momentum isra` dan mi’raj. Ketika itu beliau masih tinggal di Makkah. Suatu malam, atap rumah Rasulullah membuka, kemudian Jibril turun dan membuka dada Rasulullah dan membasuhnya dengan air zamzam. Jibril membawa bejana emas yang berisi hikmah dan iman kemudian menuangkannya ke dalam dada Rasulullah. Setelah Jibril menutup kembali dada Rasulullah, Jibril memegang tangan beliau dan mengajak beliau naik ke langit. [Shahih Al-Bukhari no. 3164; Shahih Muslim no. 163]
Peristiwa penuangan hikmah ke dada Rasulullah ini telah diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur`an beberapa kali. “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang mu`min ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [Al-Qur`an surah Ali ‘Imran no. 164]
Jadi, yang dibekali Allah dengan hikmah itu tidak hanya Rasulullah Muhammad, tapi seluruh nabi dan rasul. Sebagaimana Allah sebutkan dalam surah Al-Baqarah no. 129, 231, dan surah Al-Jumu’ah no. 2.
Jalan Menggapai Hikmah
Hikmah itu ada dua dari segi sumbernya, pertama hikmah dari judzur fithriyyah (bawaan semenjak lahir). Orang yang dari lahir sudah ditaqdirkan Allah memiliki sifat hikmah adalah orang yang paling beruntung lagi bahagia. “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” [Al-Qur`an surah Al-Baqarah no. 269] Namun orang yang semenjak lahir belum memiliki sifat hikmah tidak berarti selamanya tidak mungkin memilikinya, karena hikmah bisa didapatkan dari usaha.
Diutarakan oleh Rasulullah,
لاَ حَلِيْمَ إِلاَّ ذُوْ عثرَةٍ, وَلاَ حَكِيْمَ إِلاَّ ذُوْ تَجْرِبَةٍ
Tidak akan berkarakter hilm (lembut nan santun) kecuali yang pernah berbuat salah. Dan tidak akan berkarakter hikmah kecuali yang berpengalaman.” [Al-Adab Al-Mufrad, Al-Bukhari]
Ini artinya, ada peluang besar untuk meraih karakter bijaksana, yaitu memperbanyak pengalaman, kemudian mengambil pelajaran darinya. Pengalaman pun tidak hanya dari diri sendiri tapi juga dari orang lain, sesama mu`min. Rasulullah telah mengisyaratkan perlunya memetik ibrah dari pengalaman hidup saudara seiman, “Mu`min itu cermin bagi mu`min yang lain. Dan mu`min itu saudara bagi mu`min yang lain.” [Hasan: Shahih Al-Jami’ no. 6656]
Selanjutnya, langkah meraih karakter hikmah adalah bergaul dengan para ulama, sebagaimana pesan Luqman Al-Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, bersimpuhlah di hadapan mereka dengan kedua lututmu. Sesungguhnya Allah menghidupkan qalbu dengan cahaya hikmah, sebagaimana Allah menghidupkan tanah yang tandus dengan tetes air hujan.” [Al-Muwaththa` Malik]
Pesan Luqman ini sangat imperatif bagi kita. Tidak heran, Luqman telah dipuji oleh Allah, “Dan Kami telah memberi Luqman hikmah, untuk bersyukur kepada Allah, barangsiapa bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri,  dan barangsiapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” [Al-Qur`an surah Luqman no. 12]
Ada cara lain untuk memupuk karakter hikmah, yaitu membaca dan merenungi syair-syair yang bagus, yang tidak tercemari kata-kata yang merusak, kata-kata yang melenceng dari Islam apalagi yang menyelisihi Islam. Karena Nabi Muhammad pernah menyebutkan, “Sesungguhnya di antara syair itu ada yang mengandung hikmah.” [Shahih Al-Bukhari no. 5793]
Lihatlah! Syair yang baik saja, Rasulullah memujinya sebagai jalan mendapatkan hikmah. Sebetulnya, ini merupakan sindiran bagi sebagian orang yang meninggalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, lalu lebih memilih syair-syair, dalam rangka meraup hikmah. Rasulullah menggunakan kata ‘di antara’ itu menunjukkan tidak semua syair mengandung hikmah. Sementara Al-Qur`an dan As-Sunnah sudah jelas-jelas mengandung hikmah, karena Allah-lah pemilik hikmah, dan Allah-lah yang memberikan hikmah kepada manusia.
Lantas mengapa malah meninggalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, lantas beralih kepada syair, kalau memang menginginkan hikmah? Seharusnya, mencari hikmah itu diawali dengan mendalami Al-Qur`an dan As-Sunnah, baru kemudian ditambah dengan mengkaji syair-syair yang baik, untuk memperkuat qalbu meyakini kebenaran hikmah-hikmah dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Bijaksana memang begitu mempesona. Cara meraihnya pun harus dengan tindakan yang mempesona. Adakah diri kita termasuk orang yang bijaksana?
Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah.

Terlarangkah Mengumumkan Kematian?

Oleh Brilly El-Rasheed

Sudah menjadi hal yang lazim di sekitar kita, bila ada kematian pasti akan diumumkan, baik melalui pengeras suara maupun lewat media komunikasi (televisi, telepon, dan koran).

Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran dalil dalam tema bahasan ini. Pendapat pertama menilai, mengumumkan kematian itu terlarang sebab ada dalil yang melarang, yakni hadits Hudzaifah bin Al-Yaman yang berwasiat,
إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ
“Apabila aku mati, jangan beritahukan kepada orang lain, karena aku takut itu termasuk an-na`yu, dan aku pernah mendengar Rasulullah melarang an-na`yu.”
Apa yang didengar Hudzaifah tersebut terbukti keshahihannya, disampaikan Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Rasulullah melarang an-na`yu, beliau bersabda, “Waspadalah dari an-na`yu, karena termasuk perbuatan jahiliyyah.”.” Kedua hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi.
Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id, Alqamah, Sa’id bin Al-Musayyib, Ar-Rabi’ bin Khutsaim dan An-Nakha`i, seperti dicatat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 4/74.
Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat yang rajih (kuat), digulirkan oleh jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’i, Hanbali, dan lainnya, memilih bolehnya mengumumkan kematian, bahkan sebagian dari mereka menyebutnya sebagai sebuah sunnah.
Dalil yang mereka gunakan adalah dua hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah mengumumkan kematian Raja Najasyi pada hari kematiannya, beliau keluar ke tempat shalat (jenazah untuk shalat ghaib), beliau membuat shaf dengan para shahabatnya, dan bertakbir empat kali. Dan tatkala seorang wanita yang biasa menyapu masjid Nabawi meninggal dan Rasulullah merasa kehilangan beliau menanyakan tentangnya, para shahabat pun memberi tahukan perihal kematian wanita tersebut. Dari Abu Hurairah,
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ
“Seorang wanita berkulit hitam yang biasa menyapu masjid, lalu Rasulullah tidak melihatnya lagi, maka beliau bertanya keberadaannya dan para sahabat menjawab, “Ia telah meninggal.” Lalu beliau berkata, “Kenapa kalian tidak memberitahuku?” Abu Hurairah berkata, “Seolah-olah mereka menyepelekan perkara ini atau meremehkannya.”” Kemudian beliau berkata, “Tunjukkan kepadaku kuburnya.” Lalu mereka menunjukkannya, dan Rasulullah menshalatinya kuburan. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya kuburan ini terasa gelap gulita oleh penghuninya, dan sesungguhnya Allah akan menerangi kuburnya dengan shalatku untuk mereka.” [Shahih Al-Bukhari no. 460; Shahih Muslim no. 956]
Dua hadits ini menjadi hujjah yang jelas disunnahkannya pengumuman kematian. Lebih dari itu, pengumuman kematian seseorang juga menjadi perantara bagi jenazah untuk mendapatkan hak-haknya, yaitu dirawat, dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan serta didoakan.
Bahkan ada hadits yang lebih lugas lagi, diriwayatkan Al-Bukhari no. 3547 dari Anas, bahwasanya Nabi memberitahukan kematian Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada orang-orang sebelum kabar kematian mereka sampai. Kala itu Nabi sedang berkhuthbah kemudian bersabda,
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
“Zaid memegang bendera, lalu ia terbunuh. Ja’far memegang bendera, lalu ia terbunuh. Kemudian Ibnu Rawahah memegang bendera, lalu terbunuh.” Berlinanglah air mata Rasulullah, Rasulullah kemudian melanjutkan, “Sampai akhirnya salah satu pedang Allah memegang bendera itu sehingga Allah memenangkan peperangan mereka.”
          Adapun yang terlarang adalah an-na`yu, yaitu pengumuman kematian yang disertai tangisan, penyebutan kebaikan si mayit secara berlebihan, karena an-na`yu merupakan kebiasaan Jahiliyyah ketika ada kematian seorang yang dianggap berpengaruh, mereka mengutus penunggang kuda menuju kabilah-kabilah sambil menangis dan meratapi si mayit dengan berteriak, “Binasalah kita orang-orang Arab karena si fulan telah meninggal.”
          Menyebutkan kebaikan si mayit secara berlebihan atau malah berdusta mengatakan si mayit berbuat kebaikan padahal si mayit semasa hidupnya tidak melakukan kebaikan yang disebutkan, maka ini terlarang secara mutlak. Yang diperbolehkan adalah sekedar menyebutkan kebaikan si mayit apa adanya, hal ini didasari oleh riwayat Al-Bukhari no. 1583, tentang apa yang dilakukan Rasulullah ketika mengabarkan kematian raja Najasyi, “Telah wafat hamba Allah yang shalih.”
Sementara itu, mengumumkan kematian dengan mengeraskan suara juga menjadi perselisihan para ulama. Pendapat pertama, sebagaimana dikatakan beberapa penganut madzhab Hanafi, bahwa hal itu diperbolehkan dan tidak makruh dengan syarat tanpa disebutkan kebaikan-kebaikan si mayit secara berlebihan. Alasan mereka adalah hal itu dapat memperbanyak jama’ah yang menshalatkan dan mendoakan si mayit. Pendapat kedua, seperti digelontorkan oleh mayoritas penganut madzhab Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hanbali, bahwa hal itu makruh, dengan dalil dua hadits dari Hudzaifah dan Ibnu Mas’ud di atas.
Di sini yang rajih adalah pendapat kedua. Karena, sebagaimana diungkapkan Ibnu Hajar dalam Fat-h Al-Bari 3/117, bentuk mengumumkan kematian ala jahiliyyah adalah dengan mengangkat suara (berteriak), disertai meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan dengan berlebihan serta memuji-muji si mayit, maka sekedar mengeraskan suata ketika mengumumkan kematian adalah salah satu bagian dari tradisi jahiliyyah.
Kemudian, soal mengumumkan kematian di media massa dan komunikasi, terdapat dua bentuk; Pertama, hanya sekedar memberitahukan kematian tanpa ditambah dengan meratapi dan memuji secara berlebihan, maka hukumnya boleh, sebagaimana Rasulullah mengabarkan kematian raja Najasyi dan kematian para pemimpin perang. Kedua, jika disertai dengan memuji secara berlebihan, maka terlarang dan termasuk an-na`yu.
Pernah pula terjadi seorang khathib mengumumkan kematian ketika ia sedang berkhuthbah. Status hukumnya juga terbagi menjadi dua. Pertama, jika pengumuman kematian tersebut dibutuhkan manusia, tanpa disertai an-na`yu, maka hukumnya boleh. Hal ini didasari perbuatan Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dari Anas yang terdahulu.
Kebolehan perkara ini juga dikuatkan perbuatan Abu Bakr, tatkala Rasulullah meninggal dunia, dan manusia merasa kehilangan bahkan hampir-hampir iman sebagian shahabat runtuh ketika mendengar kabar menyedihkan ini. Abu Bakr masuk ke tempat Rasulullah, setelah ada kepastian akan wafatnya Rasulullah. Abu Bakr berdiri berkhuthbah, di antara isi khuthbah Abu Bakr waktu itu adalah,
أَمَّا بَعْدُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ
Wa ba’d, barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah Allah, maka Allah Mahahidup.” Kisah ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab shahihnya nomor 4454.
Kedua, jika pengumuman kematian tersebut tidak dibutuhkan, atau manusia tidak merasa kehilangan dengan kematian itu, atau khathib mengumumkan kematian dengan model an-na`yu, maka jelas hukumnya tidak boleh.
Mungkin ada yang ingat tradisi baru-baru ini, yakni seminar biografi tokoh yang telah wafat, di mana dalam acara itu disebutkan kisah hidup sang tokoh semenjak lahir hingga wafat. Hukumnya tidak terlepas dari dua bentuk. Pertama, jika acara ini digelar saat kematian terjadi, sebelum reda perasaan kehilangan, dan menimbulkan kesedihan baru yang semakin mendalam atas kematian, serta menjadikan orang-orang berbuat yang terlarang seperti berteriak histeris, meratapi si mayit, maka ini termasuk an-na`yu, dan hukumnya terlarang. Sementara maqashid asy-syari’ah yang ada adalah meredam luka hati dan kesedihan serta berusaha menjadikan sabar atas kematian yang terjadi. Hal itu telah direalisir melalui ta’ziyyah kepada keluarga yang ditinggal mati, guna meredakan kesedihan bukan untuk menambah kesedihan.
Kedua, jika acara ini digelar setelah penyelenggaraan perawatan jenazah, yaitu ketika kesedihan sudah hilang dan diperkirakan tidak akan timbul kembali, serta acara ini diniatkan untuk meneladani sifat baik sang tokoh yang memang benar-benar termasuk orang yang bertaqwa kepada Allah, maka diperbolehkan dengan syarat tidak disertai hal-hal yang dilarang syari’ah. Hal ini didasari atas perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab yang pernah berkhuthbah jum’at dimana beliau mengenang kehidupan Rasulullah dan Abu Bakar, sebagaimana telah diriwayatkan Muslim no. 567, dari Ma’dan bin Abu Thalhah bahwasanya ‘Umar bin Al-Khaththab berkhuthbah pada hari jum’at, lalu ia menyebutkan tentang Nabi Allah dan menyebutkan tentang Abu Bakar.

Kesimpulannya, apapun ragam pengumuman kematian, sepanjang tidak mengandung an-na`yu dan hal lain yang terlarang, maka diperbolehkan.

Artikel brillyelrasheed.blogspot.com dan brillyelrasheed561.wordpress.com
Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net)