Monthly Archives: Mei 2012
Hadiah Uang dalam Produk
Oleh Brilly El-Rasheed
Sebagai entrepreneur, banyak sekali cara yang dicetuskan dalam bisnis untuk menarik customer sebanyak-banyaknya, salah satunya, menyertakan hadiah uang tunai dalam produk. Kita sering sekali menjumpai hal itu. Sebagai entrepreneur muslim, kita patut mencari hukum trik bisnis tersebut dalam Islam.
Hukum permasalahan ini diperselisihkan oleh fuqaha` (para ulama fiqih). Ada dua pandangan,
Pandangan pertama mengharamkannya, karena menilai bahwa hal ini termasuk dalam transaksi yang oleh para ulama klasik dikenal dengan istilah ‘muddu ajwah wa dirham’. Itu termasuk transaksi tukar-menukar satu jenis komoditi ribawi dengan sesama jenisnya, namun pada salah satu benda komoditi ribawi terdapat benda tambahan nonribawi.
Contohnya kurma dibarter dengan kurma, namun bersama kurma kedua tersebut terdapat tambahan berupa uang tunai. Kurma dibarter dengan kurma adalah barter komoditi ribawi dengan komoditi ribawi sejenis, yang dalam kurma kedua terdapat tambahan yang tidak sejenis dengan komoditi ribawi yang dibarterkan.
Kita cermati hadis dari Fudhalah bin Ubaid dalam perang Khaibar. Beliau membeli kalung emas yang mengandung marjan dengan uang dinar yang terbuat dari emas. Nabi Muhammad mengomentari,
لاَ تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ
“Kalung semacam itu tidak boleh dijual sampai bagian yang bukan emas dipisahkan dari emasnya.“ [Shahih Muslim no. 4160]
Saat emas ditukar dengan emas, timbangan keduanya harus sama, meskipun kualitas karatnya berbeda dan pada salah satu emas tidak boleh ada tambahan meski tambahan tersebut berasal dari selain emas. Jika tambahannya berupa emas, berarti terjadi riba fadhl, jadi tetap haram. Sedangkan jika tambahannya itu bukan emas juga tetap haram karena hal ini adalah sarana menuju riba fadhl.
Pandangan kedua, merinci hukum kasus ini dengan meninjau nilai uang yang disertakan. Jika nilainya remeh atau sedikit, menurut ‘urf (penilaian umumnya masyarakat), maka hukumnya adalah tidak mengapa. Misalnya hadiah uang tunai dalam komoditi cuma seribu rupiah atau lima ratus rupiah, sedangkan komoditinya seharga ratusan ribu. Dan hadiah uang tunai seribu rupiah tidak akan menjadi target dan harapan pembeli sehingga transaksi yang terjadi adalah tukar-menukar uang dari pembeli dan komoditi inti dari penjual. Sedangkan hadiah uang tunai yang disertakan dalam komoditi sekedar tambahan yang tidak dimaksudkan dalam transaksi tersebut.
Alasannya, para ulama klasik juga memberikan toleransi untuk tambahan yang remeh dalam transaksi ‘mudd ajwah wa dirham’. Namun apabila hadiah uang tunai tersebut nilainya cukup besar, maka hal ini tidak diperbolehkan karena keberadaan uang hadiah tersebut menjadi tujuan pelaku transaksi, maka transaksi real yang terjadi adalah tukar-menukar uang rupiah dengan uang rupiah, dan pada salah satu uang rupiah terdapat tambahan berupa komoditi yang disertai hadiah uang, sehingga hal ini terlarang karena tergolong kasus ‘mudd ajwah wa dirham’.
Dalam hal ini, penulis condong pada pandangan yang lebih rajih (kuat) yaitu pandangan kedua yang memberi rincian besaran nilai uang yang menjadi hadiah. [Al-Mu’amalah Al-Maliyah Al-Muashirah, Hal. 37]
Posisi Kaki Saat Shalat
Oleh Brilly El-Rasheed
Setelah menilik hadits-hadits yang mengisahkan bagaimana Rasulullah shalat, mungkin kita akan menemukan tidak adanya hadits yang sharih (jelas) tentang bagaimana posisi kaki Rasulullah saat berdiri dalam shalat. Untuk menemukan jawabannya, mari kita simak penjelasan berikut.
نص بعض أهل العلم على استحباب الاعتماد على القدمين والاعتدال في القيام إلا للمراوحة من طول القيام….. وكرهوا الاعتماد على رجل واحدة واقتران الرجلين.
Sebagian ulama’ menetapkan akan dianjurkannya bersandar pada dua kaki dan seimbang saat berdiri kecuali untuk istirahat karena lamanya berdiri . . . dan mereka tidak menyukai berdiri dengan bersandar pada satu kaki atau terlalu merapatkan kaki.
قال ابن مايابي الشنقيطي في فتح المنعم شرح زاد المسلم فيما اتفق عليه البخاري ومسلم قال: ويكره رفع الرجل أو وضعها على أخرى، وإقرانها حتى يكون كالمقيد لأن ذلك من العبث، وينافي هيئة الصلاة وما فيها من الشغل الشاغل الوارد في الصحيحين عن ابن مسعود مرفوعاً: “إن في الصلاة شغلاً”.
Ibnu Maayaabi Asy-Syinqithi dalam Fath Al-Mun’im Syarh Zad Al-Muslim berkata pada hadits muttafaqun ‘alaih, “Dibenci mengangkat kaki atau meletakkan salah satunya pada yang lain dan merapatkannya sampai seperti terikat, karena perbuatan tersebut merupakan kesia-siaan, menafikan bahwa kesibukan yang ada di dalam shalat. Sebagaimana ada pada shahihain dari Ibnu Mas’ud secara marfuu’ : “Sesungguhnya di dalam shalat itu ada sesuatu yang menyibukkan.”
وروى النسائي: أن عبد الله بن مسعود رأى رجلاً يصلي قد صف بين قدميه، فقال: (أخطأ السنة)، ولو راوح بينهما كان أحب إلي. .
وعليه فاقتران الرجلين وهو صفهما مخالف للسنة.
An-Nasa`i meriwayatkan, Sesungguhnya ‘Abdullah bin Mas’ud melihat seseorang yang shalat dengan menggabungkan kedua kakinya, maka dikatakan kepadanya, “dia telah menyalahi sunnah” Seandainya dia berdiri dengan kedua kakinya maka itu lebih aku sukai.
Berdasarkan hal ini maka perbuatan merapatkan kedua kaki yaitu dengan menggabungkannya menyelisihi sunnah.
والحاصل: أن المسافة بين القدمين أثناء القيام في الصلاة لا حد لها وإنما يقف المصلي معتدلاً معتمداً على رجليه غير قارن بينهما..ولا بأس بالمراوحة بينهما عند الحاجة.
Kesimpulannya : bahwa jarak antara dua kaki saat berdiri shalat tidak ada batasan khusus. Hanya saja hendaknya seorang yang shalat itu berdiri seimbang dengan bersandar kepada kedua kakinya dengan tanpa merapatkannya. Dan tidak mengapa bersandar pada salah satu diantara keduanya ketika ada hajah/kebutuhan.
Sumber : http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=22953
Adapun ketika shalat jama’ah, maka posisi kaki kita harus kita sesuaikan dengan kaki-kaki jama’ah shalat yang lain, sehingga kaki kita kita buka sedikit lebar sehingga kaki kita saling berdekatan dengan kaki jama’ah shalat yang lain. Ini adalah sunnah Rasulullah. Sama sekali bukan karakter teroris. Lancang sekali jika kita mengatakan merapatkan kaki dalam shaf shalat adalah ciri khas teroris. Jika kita mengatakan demikian, berarti kita menuduh Rasulullah adalah teroris.
Khamr Tetap Haram Bagi Siapapun
Oleh Brilly El-Rasheed
Sudah menjadi hal yang maklum bahwasanya khamr itu haram dikonsumsi oleh seorang muslim. Jangankan mengkonsumsinya, memproduksi khamr, mengedarkan khamr, menjual khamr, mempromosikan khamr, menyediakan khamr, dan sebagainya, juga diharamkan. Bagaimanapun alasannya, seorang muslim dilarang berpartisipasi dengan pengadaan khamr.
Di sini timbul pertanyaan, seorang nonmuslim itu kan tidak memeluk agama Islam, berarti apakah ada celah bagi kita yang muslim ini untuk andil dalam pengadaan khamr bagi nonmuslim?
Jawabannya, tidak diperbolehkan memperdagangkan hal yang Allah haramkan baik dalam berbentuk makanan atau selainnya semisal khamr, babi, anjing, darah, alat-alat perjudian, alat-alat zina, dan sebagainya, meski dijual kepada orang-orang kafir.
Nabi Muhammad berkata,
إن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu maka Dia mengharamkan memperjualbelikannya.” [Shahih Al-Bukhari; Shahih Muslim]
لعن صلى الله عليه وسلم الخمر وشاربها وبائعها ومشتريها وحاملها والمحمولة إليه وآكل ثمنها وعاصرها ومعتصرها
“Nabi melaknat khamr, peminumnya, penjualnya, pembelinya (meski tidak meminumnya, pen.), orang yang menyuguhkannya, orang yang pesan khamr (meski tidak minum, pen.), pemakan hasil jual belinya, pembuatnya (baca: buruh pabrik khamr) dan orang yang memerintahkan pembuatannya (baca: pemilik pabrik khamr).” [Shahih Muslim]
An-Nawawi menjelaskan, “Menjual khamr adalah transaksi yang tidak sah baik penjualnya adalah muslim ataupun non muslim. Demikian pula meski penjual dan pembelinya non muslim ataupun seorang muslim mewakilkan kepada non muslim agar non muslim tersebut membelikan khamr untuk si muslim. Transaksi jual beli dalam semua kasus di atas adalah transaksi jual beli yang tidak sah tanpa ada perselisihan di antara para ulama syafi’iyyah. Sedangkan Al-Imam Abu Hanifah membolehkan seorang muslim untuk memberikan mandat kepada non muslim untuk menjualkan atau membelikan khamr. Pendapat ini jelas pandapat yang keliru karena menyelisihi banyak hadis shahih yang melarang jual beli khamr. Jual beli khamr ataupun memproduksinya dan semisalnya adalah suatu hal yang hukumnya haram dilakukan non muslim sebagaimana haram dilakukan oleh muslim. Demikianlah Mazhab Syafi’i.” [Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, 9/227, Al-Maktabah Asy-Syamilah]
Jangankan berpartisipasi dalam pengadaan khamr bagi nonmuslim, dalam pengadaan khamr untuk siapapun, seorang muslim tetap tidak diizinkan. Apalagi membangun pabrik khamr dan bekerja di pabrik khamr tersebut hukumnya haram.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله –صلى الله عليه وسلم- يقول: أتاني جبريل عليه السلام فقال: يا محمد إن الله عز وجل لعن الخمر وعاصرها وشاربها وحاملها والمحمولة إليه وبائعها ومبتاعها وساقيها أخرجه الهيثمي في (مجمع الزوائد)، وقال: رواه أحمد والطبراني ورجاله ثقات، ورواه أبو داود والحاكم وفيه زيادة: ” ومعتصرها “
Dari Ibnu Abbas, aku mendengar Rasulullah bercerita bahwa Jibril berkata kepadanya, “Ya Muhammad, sesungguhnya Allah itu melaknat khamr, pemeras khamr (baca: pegawai pabrik khamr), peminumnya, pembawanya, pemesan minuman khamr, penjual, pembeli, dan orang yang menuangkannya.” [Hadis ini diriwayatkan Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid dan beliau mengatakan “Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani. Para perawinya adalah para perawi yang tsiqoh. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Hakim dengan tambahan ‘orang yang memerintahkan untuk memproduksi khamr’).
Alasan lainnya adalah karena hal tersebut tergolong tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong-menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.” [QS. Al Maidah: 2].
Artikel quantumfiqih.wordpress.com
Bijaksana Begitu Mempesona
Karakter bijaksana senantiasa mencuri perhatian massa. Orang-orang yang bijaksana selalu menarik simpati siapapun yang memandangnya. Mereka diberi kemampuan menyikapi apapun dengan penuh kearifan dan perhitungan yang matang, sehingga di belakang tidak muncul penyesalan yang kadang tak bisa lekang. Mereka pun bisa menikmati kehidupan ini. Hari-harinya tidak disibukkan dengan dramatisasi beratnya terpaan cobaan. Dia sikapi masalah dengan tenang dan proporsional.
Terlarangkah Mengumumkan Kematian?
Sudah menjadi hal yang lazim di sekitar kita, bila ada kematian pasti akan diumumkan, baik melalui pengeras suara maupun lewat media komunikasi (televisi, telepon, dan koran).
Kesimpulannya, apapun ragam pengumuman kematian, sepanjang tidak mengandung an-na`yu dan hal lain yang terlarang, maka diperbolehkan.
Artikel brillyelrasheed.blogspot.com dan brillyelrasheed561.wordpress.com
Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net)