Monthly Archives: Juni 2012

Rahmah Allah

Dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tatkala Allah menciptakan para makhluk, Dia menulis dalam kitab-Nya, yang kitab itu terletak di sisi-Nya di atas ‘Arsy, “Sesungguhnya rahmat-Ku lebih mengalahkan kemurkaan-Ku.”(HR. Bukhari no. 6855 dan Muslim no. 2751)

Di dalam Fathul Bari, hadits di atas menjelaskan bahwa rahmat Allah ta’ala lebih dahulu ada dan lebih luas daripada murka-Nya. Hal itu disebabkan rahmat Allah ta’ala adalah sifat yang sudah melekat pada diri-Nya (sifat dzatiyyah) dan diberikan kepada makhluk-Nya tanpa sebab apapun. Dengan kata lain, walaupun tidak pernah ada jasa dan pengorbanan dari makhluk-Nya, pada asalnya Allah ta’ala tetap sayang kepada makhluk-Nya. Dia menciptakannya, memberi rizki kepadanya dari sejak dalam kandungan, ketika penyusuan, sampai dewasa, walaupun belum ada amal darinya untuk Allah ta’ala. Sementara murka-Nya timbul dengan sebab pelanggaran dari makhluk-Nya. Maka dari itu, rahmat Allah ta’ala sudah tentu mendahului murka-Nya.

Luasnya Rahmat Allah

Dari hadits di atas juga menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah yang diberikan kepada makhluk-Nya. Berikut kami sampaikan beberapa riwayat yang berkaitan dengan luasnya rahmat Allah ta’ala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Allah menjadikan rahmat (kasih sayang) itu seratus bagian, lalu Dia menahan di sisi-Nya 99 bagian dan Dia menurunkan satu bagiannya ke bumi. Dari satu bagian inilah seluruh makhluk berkasih sayang sesamanya, sampai-sampai seekor kuda mengangkat kakinya karena takut menginjak anaknya.” (HR. Bukhari no. 5541 dan Muslim no. 2752)

Dari Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kedatangan rombongan tawanan perang. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya di antara tawanan itu, maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan menyusuinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami, “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari no. 5999 dan Muslim no. 2754)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau seandainya seorang mukmin mengetahui segala bentuk hukuman yang ada di sisi Allah niscaya tidak akan ada seorang pun yang masih berhasrat untuk mendapatkan surga-Nya. Dan kalau seandainya seorang kafir mengetahui segala bentuk rahmat yang ada di sisi Allah niscaya tidak akan ada seorang pun yang berputus asa untuk meraih surga-Nya.” (HR. Bukhari no. 6469 dan Muslim no. 2755)

Jangan Berputus Asa dari Rahmat Allah

Setelah mengetahui betapa luasnya rahmat Allah ta’ala, maka seharusnya kita lebih bersemangat lagi untuk menggapainya dan jangan sampai berputus asa darinya. Sikap putus asa dari rahmat Allah inilah yang Allah sifatkan kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang sesat. Allah berfirman, “Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa’. Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (QS. Al Hijr: 55-56)

Dan juga firman-Nya, “Wahai anak-anakku, pergilah kamu, maka carlah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87). Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly hafidzahullah memberikan faidah untuk ayat di atas, “Oleh sebab itu, berputus asa dari rahmat Allah ta’ala merupakan sifat orang-orang sesat dan pesimis terhadap karunia-Nya merupakan sifat orang-orang kafir. Karena mereka tidak mengetahui keluasan rahmat Rabbul ‘Aalamiin. Siapa saja yang jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat yang sama dengan mereka, laa haula wa laa quwwata illaa billaah.”

Selain itu, berputus asa dari rahmat Allah juga termasuk salah satu diantara dosa-dosa besar. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang dosa-dosa besar beliau menjawab, “Yaitu syirik kepada Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar/adzab Allah.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

Ampunan Allah Termasuk Rahmat-Nya

Pembaca yang dirahmati Allah, salah satu bentuk luasnya rahmat Allah adalah luasnya ampunan Allah bagi para hamba-Nya yang pernah melakukan kemaksiatan kepada Allah, selama hamba tersebut mau bertaubat. Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagaikan buih di lautan.”

Kemudian beliau menambahkan, “Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang mau bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah, walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Allah ta’ala berfirman, “…Hai anak Adam, sungguh seandainya kamu datang menghadapKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, dan kau datang tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatupun. Sungguh Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi)

brillyelrasheed

Hutang

HADITS-HADITS TENTANG HUTANG

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” [Sunan Ibnu Majah no. 2414]

Dari Shuhaib Al-Khair, Rasulullah bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” [Sunan Ibnu Majah no. 2410]

Nabi bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا

Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkannya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. [Sunan Ibnu Majah no. 2399; Sunan An-Nasai no. 4686]

Dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ

Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” [Sunan Ibnu Majah no. 2400]

–Brilly El-Rasheed

Filsafat At-Tirmidzi, Ibnu Qutaibah, Ibnu Abi Syaibah, dan Fir’aun

Siapa yang tak kenal Sunan At-Tirmidzi dan Musnad Ibnu Abi Syaibah? Hanya orang-orang yang benci kepada Sunnah Rasulullah yang tidak kenal kedua kitab itu. Mengingkari kedua kitab itu berarti berupaya melenyapkan Sunnah Rasulullah dari muka bumi. Ada pernyataan dari kedua penulis kitab tersebut yang patut kita simak dan kita jadikan pedoman, karena keduanya adalah Ahli Hadits yang sudah tidak perlu diragukan lagi kehebatannya. Sangat tidak sebanding dengan kita yang hanya mengaku-aku sebagai ahli hadits, dan bertingkah banyak menyebutkan sanad-sanad padahal centang perenang. Langsung saja, berikut statement kedua penulis Sunnah Rasulullah.

 

Ketika Abu ‘Isa At-Tirmidzi menyebutkan hadits Abu Hurairah,

إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا

Allah menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangannya lalu mengembangkannya.”

Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkomentar,

وَقَدْ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِى هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنَ الرِّوَايَاتِ مِنَ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِى هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلاَ يُتَوَهَّمُ وَلاَ يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِىَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِى هَذِهِ الأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلاَ كَيْفٍ. وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.

Tidak sedikit dari ulama yang mengatakan tentang hadits ini dan yang semisalnya yang membicarakan tentang sifat turunnya Rabb tabaroka wa ta’ala setiap malam ke langit dunia. Mereka katakan bahwa riwayat-riwayat semacam ini adalah shahih, mereka mengimaninya, tidak salah paham, dan mereka tidak menanyakan bagaimanakah hakekat dari sifat tersebut. Demikianlah yang diriwayatkan dari Malik, Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Al-Mubarok, mereka katakan bahwa kami mengimaninya tanpa menanyakan bagaimanakah hakekat sifat tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ. وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابِهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتِ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ. وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَا هُنَا الْقُوَّةُ. وَقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ. فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلاَ يَقُولُ كَيْفَ وَلاَ يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلاَ كَسَمْعٍ فَهَذَا لاَ يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ).

Adapun Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat semacam ini dan mengatakan orang yang menetapkannya sebagai musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Ketika Allah Ta’ala menyebutkan di tempat yang lain dalam Al Qur’an, misalnya menyebut tangan, pendengaran dan penglihatan, Jahmiyah pun mentakwil (menyelewengkan) maknanya dan mereka menafsirkannya tanpa mau mengikuti penjelasan para ulama tentang ayat-ayat tersebut. Jahmiyah malah mengatakan bahwa Allah tidaklah menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Jahmiyah katakan bahwa makna tangan adalah quwwah (kekuatan). Ishaq bin Ibrahim mengatakan bahwa yang dimaksud tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) adalah seperti perkataan tangan Allah seperti atau semisal tangan ini, pendengaran Allah seperti atau semisal pendengaran ini, Jika dikatakan demikian, barulah disebut tasybih. Namun jika seseorang mengatakan sebagaimana yang Allah Ta’ala katakan bahwa Allah memiliki pendengaran, penglihatan, dan tidak dikatakan hakekatnya seperti apa, tidak dikatakan pula bahwa penglihatan Allah semisal atau seperti ini, maka ini bukanlah tasybih. Menetapkan sifat semacam itu, inilah yang dimaksudkan firman Allah Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Allah tidak semisal dengan sesuatu pun. Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)

قال الإمام العلم أبو محمد عبد الله بن مسلم بن قتيبة الدينوري صاحب التصانيف الشهيرة في كتابه في مختلف الحديث نحن نقول…   وكيف يسوغ لأحد أن يقول إن الله سبحانه بكل مكان على الحلول فيه مع قوله الرحمن على العرش استوى ومع قوله إليه يصعد الكلم الطيب كيف يصعد إليه شيء هو معه وكيف تعرج الملائكة والروح إليه وهي معه

Al-Imam Al-’Alam Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainuri –penulis kitab yang terkenal yaitu Mukhtalaf Al Hadits- berkata, kami mengatakan, “Bagaimana dibolehkan seseorang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat (di mana-mana) sampai-sampai bersatu dengan makhluk, padahala Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5). Dan Allah Ta’ala juga berfirman,

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ

Naik kepada Allah kalimat yang thoyib” (QS. Fathir: 10). Bagaimana mungkin dikatakan bahwa sesuatu naik kepada Allah sedangkan Allah dikatakan di mana-mana?! Bagaimana mungkin pula dikatakan bahwa Malaikat dan Ar Ruh (Jibril) naik kepada-Nya lalu dikatakan bahwa Allah bersama makhluk-Nya (di muka bumi)?!

Ibnu Qutaibah kembali mengatakan,

قال ولو أن هؤلاء رجعوا إلى فطرتهم وما ركبت عليه ذواتهم من معرفة الخالق لعلموا أن الله عزوجل هو العلي وهو الأعلى وأن الأيدي ترفع بالدعاء إليه والأمم كلها عجميها وعربيها تقول إن الله في السماء ما تركت على فطرها

“Seandainya orang-orang (yang meyakini Allah ada di mana-mana) kembali pada fithrah mereka dalam mengenal Sang Khaliq, sudah barang tentu mereka akan mengetahui bahwa Allah Maha Tinggi, berada di ketinggian. Buktinya adalah ketika berdo’a tangan diangkat ke atas. Bahkan seluruh umar baik non Arab maupun Arab meyakini bahwa Allah di atas langit, inilah fithrah mereka yang masih bersih.”

Beliau selanjutnya mengatakan,

قال وفي الإنجيل أن المسيح عليه السلام قال للحواريين إن أنتم غفرتم للناس فإن أباكم الذي في السماء يغفر لكم ظلمكم أنظروا إلى الطير فإنهن لا يزرعن ولا يحصدن وأبوكم الذي في السماء هو يرزقهن ومثل هذا في الشواهد كثير قلت قوله أبوكم كانت هذه الكلمة مستعملة في عبارة عيسى والحواريين وفي المائدة وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه

“Disebutkan dalam Injil bahwa Al Masih (‘Isa bin Maryam) ‘alaihis salam berkata kepada (murid-muridnya yang setia) Al Hawariyyun, “Jika kalian memaafkan orang lain, sungguh Rabb kalian yang berada di atas langit akan mengampuni kezholiman kalian. Lihatlah pada burung-burung, mereka tidak menanam makanan, Rabb mereka-lah yang berada di langit yang memberi rizki pada mereka.”


Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah Al-‘Abbasi, muhaddits Kufah di masanya, di mana beliau telah menulis tentang masalah ‘Arsy dalam seribu kitab, beliau berkata,

ذكروا أن الجهمية يقولون ليس بين الله وبين خلقه حجاب وأنكروا العرش وأن يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان ففسرت العلماء وهومعكم يعني علمه ثم تواترت الأخبار أن الله تعالى خلق العرش فاستوى عليه فهو فوق العرش متخلصا من خلقه بائنا منهم

Jahmiyah berkata bahwa antara Allah dan makhluk-Nya sama sekali tidak ada pembatas. Jahmiyah mengingkari ‘Arsy dan mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Jahmiyah katakan bahwa Allah berada di setiap tempat. Padahal para ulama menafsirkan ayat (وهومعكم), Allah bersama kalian, yang dimaksud adalah dengan ilmu Allah. Kemudian juga telah ada berbagai berita mutawatir (yang melalui jalan yang amat banyak) bahwa Allah menciptakan ‘Arsy, lalu beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Allah benar-benar di atas ‘Arsy, namun Allah terpisah atau tidak menyatu dengan makhluk-Nya.

Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’alaberfirman,

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا

Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”.” (QS. Al Mu’min: 36-37)

Ibnu Abil ‘Izz Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka itu termasuk pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.”

Begitu pula empat imam madzhab bersepakat mengenai hal ini. Bahkan keyakinan ini adalah keyakinan semua nabi. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, “Keyakinan bahwa Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya telah disebutkan dalam setiap kitab suci yang Allah turunkan pada para nabi.”

Cintai dan Bantu Saudara Kita yang Lemah

Oleh Brilly El-Rasheed

 

Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau berharap kepada Allah agar bisa menjadi bagian dari orang miskin bahkan bisa berkumpul dengan mereka di hari qiyamah karena orang miskin-lah yang mudah hisabnya. Dari Mahmum bin Labid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua hal yang tidak disukai oleh manusia:  kematian, padahal kematian itu baik bagi muslim tatkala fitnah melanda, dan yang tidak disukai pula adalah sedikit harta, padahal sedikit harta akan menyebabkan manusia mudah dihisab (pada hari kiamat)” [Musnad Ahmad 5/427]

Ini menunjukkan betapa pentingnya kita menolong saudara-saudara kita yang lemah, baik lemah fisik, mental, ekonomi, maupun keislamannya. Bershadaqah kepada orang-orang dhu’afa sangat besar nilainya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus” [Shahih Muslim no. 2982]

Di samping kebaikan di akhirat, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan memperoleh rizqi dan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala di dunia dan di akhirat. Dari Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian” (HR. Bukhari no. 2896). Dalam lafazh lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka” [Sunan An-Nasai no. 3178]

Ibnu Baththal berkata, “Ibadah orang-orang lemah dan doa mereka lebih ikhlas dan lebih terasa khusyu’ karena mereka tidak punya ketergantungan hati pada dunia dan perhiasannya. Hati mereka pun jauh dari yang lain kecuali dekat pada Allah saja. Amalan mereka bersih dan do’a mereka pun mudah diijabahi (dikabulkan)”. Al-Muhallab berkata, “Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan adalah dorongan bagi Sa’ad agar bersifat tawadhu’, tidak sombong dan tidak usah menoleh pada harta yang ada pada mukmin yang lain” [Syarh Al-Bukhari, 9/114]

Artikel Brilly El-Rasheed

quantumfiqih.wordpress.com