Category Archives: Fiqih Tsaqafah

Parah, Cina Bikin Ulah, Shampoo Terkenal Pun Dijiplak

image

Merdeka.com – Sejumlah produk perlengkapan rumah tangga mengandung racun arsenik ditemukan di toko-toko di China. Seolah tak jera, sebelumnya sudah banyak berita melaporkan beras plastik, daging busuk, beredar di China.

Barang-barang itu seperti sampo, cairan pembersih, parfum, pembunuh serangga, dan kertas toilet. 

Menurut laporan dari People’s Daily Online, barang-barang itu dijual dengan harga sangat murah, baik di toko maupun di toko daring (dalam jaringan/online).

Cairan pembersih ditemukan dengan kadar arsenik hingga 58 kali dari batas aman yang dibolehkan. Cairan itu dijual sangat murah hingga tiga kali lebih murah dari harga eceran.

Cairan itu mengandung 2,9 miligram arsenik per kilogramnya. Ahli kesehatan mengatakan kadar itu bisa menimbulkan risiko kanker.

Sedangkan pada produk Shampo seperti merek terkenal Head and Shoulder dan Pantene ditemukan mengandung timah dalam kadar berbahaya.

Pada botol sampo merek Clear saja terdapat 9,9 miligram timah tiap liternya.

Kasus ini mencuat setelah seorang pemilik toko swalayan bernama Liu melaporkan ada keluhan dari pembeli sampo di tokonya.

“Pelanggan saya bilang sampo yang dia pakai bikin gatal tapi sampo yang sama yang dia beli di toko lain tidak,” ujar Liu.

Dia kemudian menyadari barang-barang yang dia beli dari pemasok dengan harga murah ternyata dipalsukan.

Barang-barang itu sangat mirip dengan produk asli sehingga sulit membedakannya kecuali dengan uji kimia.

Pasar gelap yang menjual barang atau produk-produk palsu sedang menjamur di China lantaran perolehan keuntungan yang cukup besar.

http://m.merdeka.com/dunia/tidak-kapok-giliran-sampo-bermerek-dipalsukan-di-china.html

Catatan Quantum Fiqih

Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Al-Baqarah / 2 : 188]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisaa /4 : 29]

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?! Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim no. 102)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang mengarah senjata  kepada kami maka dia bukan dari golongan kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR. Muslim no. 101)

image

Posted from WordPress for Android

BRILLYMAGZ SUDAH TERBIT

BRILLYMAGZ SUDAH TERBIT

 

BM edisi 1 tahun 1 cover depan luar

Info lebih lengkap baca di link berikut

Unduh

 

Rubrikasi Majalah Fiqih

Quantum Fiqih berencana menerbitkan Majalah Fiqih di tahun 2013 atua 1433 ini, dengan awalan berupa majalah digital berformat PDF, menyesuaikan keuangan dan ketenagaan yang kami miliki. Kami mengharapkan bantuan doa dari Anda semua agar majalah tersebut bisa terwujud dan disebarkan secara gratis kepada para netter, sebagai bahan inspirasi kebahagiaan hidup di bawah naungan fiqih Islam.

Hadits dari Masa ke Masa

Oleh Brilly El-Rasheed

Hadits adalah berita tentang segala hal yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad. Hadits adalah sumber hukum kedua dalam syariat Islam setelah Al-Qur`an. Hadits adalah penjelas Al-Qur`an. Tanpa Hadits akan banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang tidak dipahami oleh manusia sebab sejatinya hadits adalah ucapan dan perbuatan Rasulullah, dan Rasulullah diutus oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur`an kepada manusia.

          Pada masa Nabi masih hidup, ketika itu ayat-ayat Al-Qur`an masih turun sedikit demi sedikit, Nabi seringkali mensyarah (menerangkan) atau mengomentari ayat-ayat Al-Qur`an agar para shahabat paham dengan Al-Qur`an yang merupakan ucapan Allah. Pada waktu itu, Nabi tidak mengizinkan para shahabat menulis apapun terkait syariat Islam kecuali yang merupakan ayat-ayat Al-Qur`an.
Kala itu, para shahabat hanya diperintahkan untuk fokus dan lebih concern mencatat, menghafal, dan memahami Al-Qur`an. Para shahabat Nabi adalah orang-orang yang memiliki hafalan kuat dan ingatan tajam. Sehingga kebanyakan mereka merasa cukup dengan menghafal tanpa mencatat. Di samping itu Rasulullah pada waktu itu belum mengizinkan mencatat hadits-hadits dari beliau.
          Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah Muhammad berkata,
لَا تَكْتُبُوْا عَنَّيْ شَيْئًا إِلاَّ اْلقُرْآنَ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ اْلقُرْآنَ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوْا عَنِّيْ وَلاَ حَرَجٌ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Janganlah kalian menulis sedikitpun dariku kecuali Al-Qur`an. Barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur`an, hendaknya dia menghapusnya. Dan ceritakanlah dariku, tidak mengapa. Tapi barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduk baginya di neraka.” [Shahih: Mukhtashar Shahih Muslim no. 1861; Shahih Al-Jami’ no. 7434]
Pada saat bersamaan, ada beberapa shahabat yang cerdas dan visioner. Mereka seolah menangkap makna tersirat dari ucapan-ucapan Nabi bahwa akan datang suatu masa yang pada waktu itu hadits-hadits Nabi dilupakan, diabaikan, dan tidak digunakan. Mereka yakin, jika hadits-hadits Nabi tidak dicatat, akan banyak kerusakan di tubuh umat Nabi Muhammad.
Mereka berinisiatif menulis hadits-hadits Nabi, dan mereka simpan baik-baik. Di antara mereka adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Mas’ud, Samurah bin Jundub, dan lainnya. Ada beberapa yang mendapat izin resmi dari Rasulullah di antaranya Abu Syah Al-Yamani dan Anas bin Malik.
Akan tetapi, Nabi melarang menulis hadits-hadits dari beliau itu bukan berarti Nabi tidak peka dengan watak mayoritas manusia yang bersifat sekuler. Nabi melarang itu karena Nabi telah diberi ilham oleh Allah bahwa belum saatnya hadits-hadits dari beliau ditulis. Juga, ditakutkan bercampur aduknya ayat-ayat Al-Qur`an dengan ucapan-ucapan Nabi Muhammad, dimana pada saat itu para shahabat sedang mencatat ayat-ayat Al-Qur`an, tapi juga mereka mendengarkan penjelasan dari Nabi tentang Al-Qur`an.
Dimulainya Penulisan Hadits
Kondisi tersebut terus berlangsung, hingga suatu ketika Rasulullah merasa sudah saatnya diperbolehkan mencatat hadits-hadits dari beliau secara massal oleh para shahabat, yang sebelumnya Nabi hanya memberikan izin kepada beberapa shahabat beliau. Faktor yang ditakutkan, yaitu bercampur aduknya firman-firman Allah dengan ucapan-ucapan beliau, sudah tidak ada. Maka pada saat itu Rasulullah memerintahkan para shahabat beliau untuk mencatat hadits-hadits dari beliau.
Dikisahkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, “Aku biasa menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah karena aku ingin menghafalnya. Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan mengatakan, “Jangan engkau tulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah karena Rasulullah itu manusia biasa, bisa berucap dalam keadaan marah maupun senang.” Aku pun berhenti menulis apa yang kudengar. Lalu kuceritakan hal itu kepada beliau. Beliau memberi isyarat dengan jari beliau ke mulut beliau seraya berkata,
اُكْتُبْ! فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
“Tulislah (hadits-hadits dariku). Demi yang diriku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari lisanku kecuali kebenaran.” [Shahih: Shahih Sunan Abu Dawud no. 3646. Shahih Al-Jami’ no. 1196; Ash-Shahihah no. 1532]
Di lain kesempatan, Nabi memerintahkan, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.” [Shahih: Shahih Al-Jami’ no. 4434; Ash-Shahihah no. 2026]
          Rasulullah pernah pula memerintahkan Abu Hurairah  menulis khuthbah yang beliau sampaikan untuk diberikan kepada Abu Syah dari Yaman, “Tuliskanlah (khutbah) untuk Abu Syah ini.” [Shahih: Shahih Sunan Abu Dawud no. 3649]
Waktu terus berjalan, para shahabat menulis hadits-hadits dari Nabi, baik dari hafalan mereka, atau dari kabar shahabat yang lain, atau langsung dari Rasulullah sewaktu beliau masih hidup. Tatkala Rasulullah telah wafat, hadits-hadits beliau masih bertebaran belum terkodifikasi secara utuh. Para shahabat menyebarkannya lewat kajian-kajian yang mereka adakan, juga lewat pertemuan dan perkumpulan.
Ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, para shahabat sepakat untuk mengkodifikasi ayat-ayat Al-Qur`an dalam satu buku (mushhaf), setelah sebelumnya melalui proses diskusi panjang tentang hukum mengkodifikasi Al-Qur`an, dimana pada masa Rasulullah masih hidup, Rasulullah tidak pernah memerintahkannya, tidak juga tersirat perintah itu secara implicit dalam hadits-hadits beliau. Hadits-hadits Nabi masih belum terkodifikasi.
          Kemudian kekhalifahan dijabat oleh ‘Umar bin Al-Khaththab. Al-Baihaqi meriwayatkan dalam Al-Madkhal, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab ingin menulis sebuah kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mengenai hukum (selain ‘aqidah). Kemudian beliau meminta nasehat kepada para shahabat lainnya. Mereka pun memberi masukan supaya beliau menulis sebuah kitab khusus.
’Umar lantas melakukan shalat istikharah memohon petunjuk kepada Allah, selama satu bulan. Keesokan harinya, dengan mantap ’Umar berkata, ”Sebenarnya aku ingin menulis kitab kumpulan hadits. Namun, aku ingat kepada sebuah kaum sebelum kalian yang menulis kitab-kitab, kemudian mereka lebih memperhatikan kitab-kitabnya itu dan meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah aku tidak ingin mencampur Kitab Allah dengan sesuatupun selama-lamanya.”
Sang Pelopor Kodifikator
‘Umar bin Al-Khaththab yang mengurungkan niat mulianya itu menjadikan hadits-hadits Nabi belum juga terkodifikasi. Kondisi ini terus berjalan, hingga ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memegang kekhalifahan. Beliau khawatir jika hadits-hadits Nabi akan hilang ditelan zaman, karena wafatnya para ulama pencatat hadits dan pengemban amanah Tuhan.
Beliaupun menulis surat kepada qadhi Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, “Lihatlah hadits-hadits Nabi, lalu tulislah. Sungguh aku khawatir jika ilmu dan ulama akan sirna. Jangan kamu terima kecuali hadits Rasulullah. Kemudian sebarkanlah ilmu dan duduklah di majelis agar orang yang tidak tahu menjadi tahu. Sesungguhnya ilmu itu tidak akan sirna hingga ilmu itu tersembunyi.”
Beliau juga menulis surat yang sama ke seluruh negeri kaum muslimin kemudian memerintahkan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri Al-Madini supaya menyusun kitab hadits. Dan beliaulah orang yang pertama kali menyusun kitab hadits secara komprehensif. Ini terjadi pada penghujung abad pertama hijriyyah. Setelah itu, pada pertengahan abad kedua hijriyyah, para ulama dari kalangan tabi’in banyak yang mengikuti jejak Az-Zuhri dalam menyusun kitab hadits, di antaranya ’Abdul Malik bin Juraij, ’Abdullah bin Al-Mubarak, Malik bin Anas, dan lainnya.
Kondisi ini terus berjalan hingga datang generasi setelah Atba’ Tabi’ At-Tabi’in. Pada generasi inilah kodifikasi hadits dilakukan lebih komprehensif dan besar-besaran. Para ulama menulis kitab-kitab hadits dengan berbagai corak mulai dari musnad, mushannaf, shahih, jami’, sunan, mustadrak, hingga mustakhraj. Masing-masing kitab hadits ini memiliki nilai yang membedakan dengan lainnya, sehingga di kalangan para ulama ada semacam kategorisasi dan hirarki.
Kebanyakan dari kitab-kitab hadits tidak luput dari keberadaan hadits-hadits dha’if. Maka bangkitlah para ulama ahli hadits untuk melakukan verifikasi memilah hadits-hadits yang shahih dari yang dha’if, munkar, dan maudhu’, agar hadits-hadits Nabi tidak terkotori dengan kedustaan, dan Islam pun tidak rancu atau samar akibat hadits-hadits yang tidak shahih.
Mereka semua ini, nampaknya termotivasi oleh sebuah hadits dari Rasulullah,
نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِيْ (و في رواية: سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفَظَهُ) فَوَعَاهَا ثُمَّ أَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا
“Semoga Allah mencerahkan wajah seorang yang mendengar perkataanku (dalam riwayat lain: mendengar hadits dari kami, lalu menjaganya) lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar.” [Mutawatir: Shahih Al-Jami’ no. 6763-6766]
Wahai Orang-orang yang Pongah!
Maka, dari sini kita menjadi tahu, sungguh aneh bila ada Muslim yang tidak menerima dan mengambil ilmu dari hadits Nabi yang shahih. Kita juga mengerti, bodoh sekali orang-orang liberalis dan orientalis yang menolak menggunakan hadits dan mempelajarinya serta menuduh bahwa hadits terlambat ditulis, hadits baru dicatat setelah berlalu beberapa generasi.
Sungguh, hanya orang-orang yang cekak akalnya, yang menolak mempelajari hadits-hadits Nabi. Demi Allah, mereka tidak akan lulus dari pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. Dan, kabar gembira bagi mereka dengan siksa kubur hingga hari qiyamah. Ditambah, adzab akhirat yang tidak bisa dicegah. Ingatlah ini, wahai orang-orang yang pongah!

(Lamongan, 14 Shafar 1432)

Artikel brillyelrasheed.blogspot.com dan brillyelrasheed561.wordpress.com

Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net).

Sanad: Kekayaan Intelektual Peradaban Islam

Oleh Brilly El-Rasheed

Generasi yang pernah hidup semasa dengan Rasulullah, ketika Rasulullah belum diutus, adalah orang-orang yang betul-betul sangat menjaga kredibilitas dan validitas suatu fakta, karena di mata mereka, kejujuran adalah pangkal kemuliaan. Mereka begitu jujur karena kemuliaan adalah segalanya. Biarpun mereka adalah musyrik, tapi pantang bagi mereka untuk berdusta. Sehingga, ketika Rasulullah diutus, tradisi mereka ini pun masih terbawa. Mereka selalu mengabarkan segala perihal tentang Rasulullah terkait syariat Islam kepada yang lain, atas dasar kejujuran yang telah menjadi karakter dasar pribadi mereka.

Seperti dituturkan oleh Anas bin Malik, ”Tidak semua yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah, kami mendengarnya langsung dari beliau, akan tetapi, para shahabat kami memberitakannya kepada kami, dan kami adalah kaum yang tidak berdusta terhadap orang lain.” Dan oleh Al-Bara` bin ’Azib, ”Tidak semua dari kami mendengar hadits Rasulullah (secara langsung), karena kami mencari nafkah dan memiliki kesibukan, dan orang-orang pada waktu itu tidak pernah berdusta, sehingga yang hadits menyampaikan kepada yang tidak hadir.” [Al-Kifayah fi ’Ilm Ar-Riwayah, 2/1210-1211]
Namun, sejak pecahnya fitnah kubra, dimana khalifah ’Umar bin Al-Khaththab dan khalifah ’Utsman bin ’Affan menjadi korban pembunuhan berencana, terjadi proliferasi sekte-sekte sesat dan menyimpang, yang menjadi sumber utama bertebarannya hadits-hadits dusta dan palsu atas nama Rasulullah, yang digunakan sebagai legitimasi masing-masing sekte. Dusta atas nama Rasulullah semakin berkembang pada 41 H, pada masa generasi tabi’in. Dan lebih dahsyat lagi pada masa tabi’ut tabi’in. Sebab musababnya mulai fanatisme madzhab, pendeskreditan Islam, diskriminasi etnis dan rasialisme, ekspektasi hampa, hingga tendensi duniawi.
          Para pembesar shahabat yang menyadari kerusakan dan ancaman keruntuhan Islam di masa mendatang akibat dusta atas nama Islam ini, kemudian lebih concern lagi dalam menjaga keotentikan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan menggunakan sistem kritik sanad atau isnad sekaligus kritik matan. Sanad adalah sistem transmisi hadits berupa mata rantai mulai dari shahabat yang membawa hadits langsung dari Rasulullah, kemudian hadits ditransmisikan kepada orang lain, baik satu generasi maupun generasi setelahnya, hingga kodifikator hadits.
Menurut penelitian Prof. Dr. Muhammad Musthafa Al-A’zhami, M.A, Ph.D, peraih nobel Studi Keislaman dari Raja Faishal pada 1980, periwayatan khabar dengan sistem sanad ternyata sudah menjadi tradisi sebelum Islam datang, yaitu yang digunakan dalam kodifikasi Mishna, kitab induk Yahudi, dan juga dalam penukilan syair-syair kaum Jahiliyyah. Akan tetapi sistem sanad pada masa itu digunakan asal-asalan, tidak begitu diperhatikan secara serius.
Pada masa generasi tabi’in lah, sistem sanad benar-benar matang, sebagai langkah preventif sekaligus proteksi terhadap hadits-hadits Nabi dari khabar-khabar dusta. Pada perkembangan selanjutnya sistem sanad diterapkan pula pada periwayatan atsar yaitu khabar dari generasi salaf (shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in). Dan tradisi sistem sanad ini kemudian secara simultan menjadi tradisi intelektual Islam. Para ulama Islam sepeninggal generasi salaf sudah terbiasa dengan tradisi ini, sehingga, dalam meriwayatkan maupun mengkodifikasi khabar dari para salaf maupun dokumen sejarah peradaban Islam, mereka menggunakan sistem sanad.
Kekhususan dari Allah
Generasi salaf paham betul betapa urgennya sanad dalam penjagaan otentisitas Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dokumen sejarah Islam lainnya, dan membentenginya dari pabrikasi (buatan, tambahan) dan manipulasi. Seperti tercermin dari ungkapan ’Abdullah bin Al-Mubarak, ”Isnad adalah bagian dari Din (agama Islam). Jika tidak ada isnad, orang akan mengatakan apa saja yang dia mau.” [Shahih Muslim 1/15] Juga dari penuturan Ibnu Hazm dalam Al-Fishal 2/219, ”Penukilan seorang kredibel dari orang kredibel pula sampai kepada Nabi, disertai sanad yang bersambung, merupakan keistimewaan penukilan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin, dan tidak dimiliki oleh agama-agama lain.”
Senada dengannya adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 1/9, ”Ilmu sanad dan riwayat merupakan keistimewaan yang Allah berikan kepada umat Muhammad. Allah menjadikannya sebagai tangga untuk mengetahui sesuatu. Ahli kitab tidak memiliki sanad dalam mentransmisikan riwayat-riwayat mereka. Demikian pula ahli bid’ah dan sekte sesat dari kalangan umat ini. Sanad ini hanya dimiliki oleh kaum yang telah menerima anugerah besar dari Allah, yang berpegang kepada Al-Islam dan As-Sunnah. Dengan sanad, mereka bisa membedakan antara yang  shahih (otentik) dan yang berpenyakit, yang bengkok dan yang lurus.”
Yang pertama kali mereka lakukan ketika mendapati perkara yang dinisbahkan kepada Islam adalah mengkritisi sanadnya baru kemudian mengkritisi matannya. Mengkritisi sanad tidak sembarangan. Para salaf memiliki standar tersendiri dalam disiplin ilmu ini. Pertama, mereka mengumpulkan daftar periwayat hadits yang hendak dikritisi sanadnya. Kemudian mereka selidiki kapabilitas, integrasi, kredibilitas, kekuatan ingatannya, validitas, dan kejujurannya.
Jika semua syarat validitas sanad telah terpenuhi, maka hadits akan diterima selama matannya juga shahih. Tapi jika tidak memenuhi, maka khabar tersebut akan ditolak, dan divonis sebagai hadits dha’if ataupun maudhu’. Jadi sanad adalah penentu utama otentisitas hadits. Sebagaimana ditandaskan oleh Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, ”Jangan kalian (lebih) memperhatikan (matan) hadits, namun (lebih pusatkanlah) perhatian pada sanadnya. Jika sanadnya shahih, maka amalkanlah (karena sudah pasti shahih pula matannya). Tapi jika tidak, jangan Anda tertipu dengan hadits yang sanadnya tidak shahih.” [Siyar A’lam An-Nubala` 9/188]
Kita lihat keteladanan para salaf terkait sikap tegas mereka dalam hal kritik sanad dan periwayatan, sampaipun pada khabar bukan hadits Nabi. Suatu hari, ‘Ufair bin Ma’dan Al-Kila’i berkata, ”Datang kepada kami ’Umar bin Musa di kota Himsh, lalu kami berkumpul kepadanya di masjid, maka ia berkata, ”Haddatsana (telah bercerita kepada kami) syaikh kalian yang shalih…” Ketika ia telah banyak berkata demikian dan demikian, aku berkata kepadanya, ”Siapakah syaikh kami yang shalih itu, sebutkanlah namanya agar kami dapat mengenalinya.” Ia menjawab, ”Khalid bin Ma’dan” Aku bertanya, ”Tahun berapa engkau bertemu dengannya?” Ia menjawab, ”Tahun 108 H.” Aku berkata, ”Di mana engkau bertemu dengannya?” Ia menjawab, ”Di perang Armenia.” Aku berkata kepadanya, ”Bertaqwalah engkau kepada Allah dan jangan berdusta!! Khalid bin Ma’dan wafat pada tahun 104 H dan tadi engkau mengklaim bertemu dengannya pada tahun 108 H, dan aku tambahkan lagi untukmu bahwa ia tidak pernah mengikuti perang Armenia, namun ia ikut perang melawan Romawi.” [Al-Kifayah fi ’Ilm Ar-Riwayah, 1/119]
Bagaimana dengan Agama Lain?
Di atas adalah satu contoh kecil yang membuktikan betapa tegas dan ketatnya para salaf dalam mentransmisikan khabar apapun. Sekarang coba kita bandingkan dengan kitab-kitab suci agama lain. Ambil contoh Bible. Apakah diketahui siapa yang mentransmisikan Bible itu dari Yesus secara langsung? Apakah diketahui siapa sajakah yang mentransmisikan Bible itu hingga sampai ke tangan penginjil kini? Dan terakhir, apa ada jaminan, bahwa Bible yang ada sekarang adalah Bible yang pertama kali ada dari Yesus? Dijamin, para penginjil tidak akan bisa menjawab tantangan ini.
Sungguh sistem periwayatan dengan kritik sanad adalah satu tradisi intelektual yang tiada bandingnya di dunia, dari dulu sampai sekarang. Kita tidak akan menemukan sistem yang menyamainya sampai kapanpun, sebagaimana dikatakan oleh ’Abdullah bin Thahir, gubernur Khurasan pada masa imperium ’Abbasiyyah, ”Meriwayatkan hadits tanpa disertai isnad termasuk perbuatan orang yang berpenyakit. Sungguh, isnad hadits merupakan karamah (kemuliaan) dari Allah untuk umat Muhammad.” [Tarikh An-Naisaburi]
Ironisnya, para muslim radikal, liberal, dan sekuler memandang remeh sanad itu, bahkan menganggapnya hanyalah omong kosong. Mereka terpengaruh oleh para orientalis, salah satunya Joseph Schacht, yang pertama kalimelontarkan tuduhan bahwa sanad adalah pabrikasi (buatan) para hakim untuk melegitimasi pendapat mereka, yang dikenal dengan teori projecting back. Juga terpengaruh oleh Alois Sprenger, missionaris asal Jerman, yang pertama kali menggulirkan wacana bahwa hadits hanyalah anekdot.
Tidakkah orang-orang yang mengesampingkan sanad itu sadar bahwa misi para orientasli dan missionaris adalah menjauhkan kaum muslimin dari Islam dan agar Islam lenyap dari muka bumi dan ingatan umat Islam? Ingatlah, bahwa awalnya mereka menebarkan keragu-raguan akan eksistensi dan kredibilitas sanad hadits, kemudian matan hadits, kemudian sosok Rasulullah Muhammad, dan yang terakhir menanamkan bahwa Islam adalah agama buatan yang sama sekali tidak bersumber dari Allah. Sadarlah wahai orang yang berakal, ambillah pelajaran, kembalilah ikuti jejak pendahulu kalian, generasi salaf yang diridhai Allah, dan Allah meridhai mereka, dan jangan lagi mengesampingkan sanad! (Lamongan, 27 Ramadhan 1431)
Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah.