Category Archives: Fiqih Fatwa

Terpaksa Kerja Berat, Boleh Tidak Puasa Ramadhan?

Oleh Brilly El-Rasheed

 

Tidak puasa tanpa udzur syar`i hukumnya haram. Namun jika terpaksa bekerja dan pekerjaannya berat dan jika puasa memberatkan maka boleh tidak puasa (kelak wajib qodho` saja).

بشرى الكريم الجزء 2 صحـ : 72 مكتبة الحرمين
وَيَلْزَمُ أَهْلَ الْعَمَلِ الْمُشِقِّ فِيْ رَمَضَانَ كَالْحَصَّادِيْنَ وَنَحْوِهِمْ تَبْيِيْتُ النِّيَةِ ثُمَّ إِنْ لَحِقَهُ مِنْهُمْ مَشَقَّةٌ شَدِيْدَةٌ أَفْطَرَ وَإِلاَّ فَلاَ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ اْلأَجِيْرِ وَالْغَنِيِّ وَغَيْرِهِ أَوْ الْمُتَبَرِّعِ وَإِنْ وَجَدَ غَيْرَهُ وَتَأْتَّى لَهُم الْعَمَلُ لَيْلاً اهـ

Apalagi seorang sopir yang terpaksa harus menyopir setiap hari selama Ramadhan karena kalau tidak kerja, keluarganya tidak makan. Maka sopir boleh tidak puasa tapi hendaknya dia berusaha bagaimana caranya bisa tetap puasa, karena kalau tidak berarti dia  meninggalk​an kewajiban puasa selama-lam​anya. Menurut Ibn Hajar selama dalam bepergian boleh membatalka​n puasa.

كاشفا ة السجا صحـ :
وَالصَّوْمُ لِلْمُسَافِرِ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِنْ لَمْ يَشُقَّ عَلَيْهِ ِلأَنَّ فِيْهِ بَرَاءَة َلذِّمَّةِ​ فَإِنْ شَقَّ عَلَيْهِ بِأَنْ لَحِقَهُ مِنْهُ نَحْوُ أَلَمٍ يَشُقُّ احْتِمَالُهُ عَادَةً فَالْفِطْر​ أَفْضَلُ أَمَّا إذَا خَشِيَ مِنْهُ تَلَفَ مَنْفَعَةِ​ عُضْوٍ فَيَجِبُ الْفِطْرُ فَإِنْ صَامَ عَصَى وَأَجْزَأَ​هُ وَمَحَلُّ جَوَازِ الْفِطْرِ لِلْمُسَافرِ إِذَا رَجَا إِقَامَةً يَقْضِيْ فِيْهَا وَإِلاَّ بِأَنْ كَانَ مُدِيْمًا لَهُ وَلَمْ يُرْجَ ذَلِكَ فَلاَ يَجُوْزُ لَهُ الْفِطْرُ عَلَى الْمُعْتَمدِ ِلأَدَائِهِ إِلَى إِسْقاَطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلِّيَّةِ قَالَ ابْنُ حَجَرٍ بِالْجَوَا​زِ فَائِدَتُهُ فِيْمَا إِذَا أَفْطَرَ فِيْ أَيَّامِ الطَّوِيْلةِ أَنْ يَّقْضِيَه​ فِيْ أَيَّامٍ أَقْصَرُ مِنْهَا إِنْتَهَى مِنَ الشَّرْقَا​وِي وَالزِّيَا​دِي اهـ

حاشيتا قليوبي وعميرة الجزء 2 صحـ : 88 مكتبة دار إحياء الكتب العربية
كَذَا قَالَهُ شَيْخُنَا وَنَقَلَ الْعَلاَمَةُ ابْنُ قَاسِمٍ عَنْ شَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ أَنَّهُ يَكْفِي تَمَكُّنُه​ فِي الْعَامِ اْلأَوَّلِ​ وَبِهَذَا عُلِمَ أَنَّهُ لاَ فِدْيَةَ عَلَى نَحْوِ الْهَرَمِ بِتَأْخِيرِ الْفِدْيَة​ لِعَدَمِ الْقَضَاءِ​ فِيهِ وَلاَ عَلَى مُدِيمِ السَّفَرِ لاِسْتِمْرَارِ عُذْرِهِ كَمَا مَرَّ اهـ

Akan tetapi perlu diingat, makan pada siang hari Ramadhan karena lupa tidak termasuk membatalkan puasa, walaupun tidak sedang kerja berat. Namun sebetulnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha. Menurut Al-Imam An-Nawâwi hukum puasanya tidak batal. Sementara menurut Al-Imam Ar-Rafi’i batal.

كفاية الأخيار الجزء الأول صحـ : 206 مكتبة دار إحياء الكتب
وَلَوْ أَكَلَ نَاسِيًا لِلصَّوْمِ​ لَمْ يُفْطِرْ فِي الصَّحِيحَ​يْنِ مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا​ أَطْعَمَهُ​ اللَّهُ وَسَقَاهُ فَلَوْ كَثُرَ وَجْهَانِ اَلأَصَحُّ عِنْدَ الرَّافِعِ​يّ يُفْطِرُ ِلأَنَّ النِّسْيَا​نَ مَعَ الْكَثْرَةِ نَادِرٌ وَلِهَذَا قُلْنَا تَبْطُلُ الصَّلاَةُ​ بِالْكَلاَ​مِ الْكَثِيرِ​ وَإِنْ كَانَ نَاسِيًا وَاْلأَصَحُّ عِنْدَ النَّوَوِيّ أَنَّهُ لاَ يُفْطِرُ لِعُمُوْمِ​ اْلأَخْبَا​رِ وَلَيْسَ الصَّوْمُ كَالصَّلاَ​ةِ وَالْفَرْقُ أَنَّ لِلصَّلاَةِ أَفْعَالاً​ وَأَقْوَالاً تُذَكِّرِهُ الصَّلاَةُ​ فَيَنْدُرُ​ وُقُوْعُ ذَلِكَ مِنْهُ بِخِلاَفِ الصَّوْمِ اهـ

Doa Minta Sabar, Dilarang?

Oleh Brilly El-Rasheed

 

“Padahal kan hidupnya enak-enak saja, tidak ada musibah, kok berdoa minta sabar. Doa minta sabar itu ya kalau cuma ada musibah saja.”

Apakah seperti itu logika yang sedang menggelayut? Benarkah berdoa minta kesabaran itu hanya boleh dilakukan ketika ada musibah?

Mungkin kita menemukan hadits berikut,

رواه الترمذي 3527 من طريق أَبِي الْوَرْدِ عَنْ اللَّجْلَاجِ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ : ” سَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا وَهُوَ يَقُولُ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الصَّبْرَ ، فَقَالَ : سَأَلْتَ اللَّهَ الْبَلَاءَ فَسَلْهُ الْعَافِيَةَ

Kita perlu baca syarah hadits ini dari para ulama. Kita tidak layak gegabah menafsirkan hadits hanya karena kita bisa bahasa arab dan tahu terjemahannya, karena memahami hadits itu banyak perangkat yang harus dimiliki. Biar praktis, kita buka saja syarah dari para ulama.

قال القاري رحمه الله :
” محل هذا إنما هو قبل وقوع البلاء ، وأما بعده فلا مانع من سؤال الصبر بل يستحب ؛ لقوله تعالى : ربنا أفرغ علينا صبرا  ” انتهى من “مرقاة المفاتيح” 8 /324

Al-Qari menerangkan bahwa membaca doa yang ada dalam hadits itu seyogyanya ketika musibah menimpa, akan tetapi tidak dilarang walaupun musibah telah hilang, bahkan tetap disukai.

Kita juga mungkin bisa buka Al-Qur`an.

قال تعالى : وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ * فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ  البقرة/ 250، 251 .
وقال تعالى عن سحرة فرعون : قَالُوا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ * وَمَا تَنْقِمُ مِنَّا إِلَّا أَنْ آمَنَّا بِآيَاتِ رَبِّنَا لَمَّا جَاءَتْنَا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ  الأعراف/ 125، 126 .

Oleh karena tidak dilarang berdoa meminta kesabaran walaupun tidak sedang ada musibah, di antara doa yang sering dibaca Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah,

اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ، وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ، أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِي ، اللَّهُمَّ وَأَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ ، وَأَسْأَلُكَ الْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى ، وَأَسْأَلُكَ نَعِيمًا لَا يَنْفَدُ ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لَا تَنْقَطِعُ ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَاءَ بَعْدَ الْقَضَاءِ ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ ، اللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ ، وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِينَ
رواه النسائي 1305

Semoga paparan singkat dari saya bermanfaat.

 

Salam sukses,

Brilly El-Rasheed

20-02-2013

 

Posisi Kaki Saat Shalat

Oleh Brilly El-Rasheed

 

Setelah menilik hadits-hadits yang mengisahkan bagaimana Rasulullah shalat, mungkin kita akan menemukan tidak adanya hadits yang sharih (jelas) tentang bagaimana posisi kaki Rasulullah saat berdiri dalam shalat. Untuk menemukan jawabannya, mari kita simak penjelasan berikut.

نص بعض أهل العلم على استحباب الاعتماد على القدمين والاعتدال في القيام إلا للمراوحة من طول القيام….. وكرهوا الاعتماد على رجل واحدة واقتران الرجلين.

Sebagian ulama’ menetapkan akan dianjurkannya bersandar pada dua kaki dan seimbang saat berdiri kecuali untuk istirahat karena lamanya berdiri . . . dan mereka tidak menyukai berdiri dengan bersandar pada satu kaki atau terlalu merapatkan kaki.

قال ابن مايابي الشنقيطي في فتح المنعم شرح زاد المسلم فيما اتفق عليه البخاري ومسلم قال: ويكره رفع الرجل أو وضعها على أخرى، وإقرانها حتى يكون كالمقيد لأن ذلك من العبث، وينافي هيئة الصلاة وما فيها من الشغل الشاغل الوارد في الصحيحين عن ابن مسعود مرفوعاً: “إن في الصلاة شغلاً”.

Ibnu Maayaabi Asy-Syinqithi dalam Fath Al-Mun’im Syarh Zad Al-Muslim berkata pada hadits muttafaqun ‘alaih, “Dibenci mengangkat kaki atau meletakkan salah satunya pada yang lain dan merapatkannya sampai seperti terikat, karena perbuatan tersebut merupakan kesia-siaan, menafikan bahwa kesibukan yang ada di dalam shalat. Sebagaimana ada pada shahihain dari Ibnu Mas’ud secara marfuu’ : “Sesungguhnya di dalam shalat itu ada sesuatu yang menyibukkan.”

وروى النسائي: أن عبد الله بن مسعود رأى رجلاً يصلي قد صف بين قدميه، فقال: (أخطأ السنة)، ولو راوح بينهما كان أحب إلي. .
وعليه فاقتران الرجلين وهو صفهما مخالف للسنة.

An-Nasa`i meriwayatkan, Sesungguhnya ‘Abdullah bin Mas’ud melihat seseorang yang shalat dengan menggabungkan kedua kakinya, maka dikatakan kepadanya, “dia telah menyalahi sunnah” Seandainya dia berdiri dengan kedua kakinya maka itu lebih aku sukai.

Berdasarkan hal ini maka perbuatan merapatkan kedua kaki yaitu dengan menggabungkannya menyelisihi sunnah.

والحاصل: أن المسافة بين القدمين أثناء القيام في الصلاة لا حد لها وإنما يقف المصلي معتدلاً معتمداً على رجليه غير قارن بينهما..ولا بأس بالمراوحة بينهما عند الحاجة.

Kesimpulannya : bahwa jarak antara dua kaki saat berdiri shalat tidak ada batasan khusus. Hanya saja hendaknya seorang yang shalat itu berdiri seimbang dengan bersandar kepada kedua kakinya dengan tanpa merapatkannya. Dan tidak mengapa bersandar pada salah satu diantara keduanya ketika ada hajah/kebutuhan.

Sumber : http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=22953

Adapun ketika shalat jama’ah, maka posisi kaki kita harus kita sesuaikan dengan kaki-kaki jama’ah shalat yang lain, sehingga kaki kita kita buka sedikit lebar sehingga kaki kita saling berdekatan dengan kaki jama’ah shalat yang lain. Ini adalah sunnah Rasulullah. Sama sekali bukan karakter teroris. Lancang sekali jika kita mengatakan merapatkan kaki dalam shaf shalat adalah ciri khas teroris. Jika kita mengatakan demikian, berarti kita menuduh Rasulullah adalah teroris.

brillyelrasheed561.wordpress.com