Category Archives: Fiqih Sejarah

Terlarangkah Mengumumkan Kematian?

Oleh Brilly El-Rasheed

Sudah menjadi hal yang lazim di sekitar kita, bila ada kematian pasti akan diumumkan, baik melalui pengeras suara maupun lewat media komunikasi (televisi, telepon, dan koran).

Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat, dikarenakan adanya perbedaan penafsiran dalil dalam tema bahasan ini. Pendapat pertama menilai, mengumumkan kematian itu terlarang sebab ada dalil yang melarang, yakni hadits Hudzaifah bin Al-Yaman yang berwasiat,
إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ
“Apabila aku mati, jangan beritahukan kepada orang lain, karena aku takut itu termasuk an-na`yu, dan aku pernah mendengar Rasulullah melarang an-na`yu.”
Apa yang didengar Hudzaifah tersebut terbukti keshahihannya, disampaikan Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Rasulullah melarang an-na`yu, beliau bersabda, “Waspadalah dari an-na`yu, karena termasuk perbuatan jahiliyyah.”.” Kedua hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi.
Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id, Alqamah, Sa’id bin Al-Musayyib, Ar-Rabi’ bin Khutsaim dan An-Nakha`i, seperti dicatat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 4/74.
Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat yang rajih (kuat), digulirkan oleh jumhur ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’i, Hanbali, dan lainnya, memilih bolehnya mengumumkan kematian, bahkan sebagian dari mereka menyebutnya sebagai sebuah sunnah.
Dalil yang mereka gunakan adalah dua hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah mengumumkan kematian Raja Najasyi pada hari kematiannya, beliau keluar ke tempat shalat (jenazah untuk shalat ghaib), beliau membuat shaf dengan para shahabatnya, dan bertakbir empat kali. Dan tatkala seorang wanita yang biasa menyapu masjid Nabawi meninggal dan Rasulullah merasa kehilangan beliau menanyakan tentangnya, para shahabat pun memberi tahukan perihal kematian wanita tersebut. Dari Abu Hurairah,
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ
“Seorang wanita berkulit hitam yang biasa menyapu masjid, lalu Rasulullah tidak melihatnya lagi, maka beliau bertanya keberadaannya dan para sahabat menjawab, “Ia telah meninggal.” Lalu beliau berkata, “Kenapa kalian tidak memberitahuku?” Abu Hurairah berkata, “Seolah-olah mereka menyepelekan perkara ini atau meremehkannya.”” Kemudian beliau berkata, “Tunjukkan kepadaku kuburnya.” Lalu mereka menunjukkannya, dan Rasulullah menshalatinya kuburan. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya kuburan ini terasa gelap gulita oleh penghuninya, dan sesungguhnya Allah akan menerangi kuburnya dengan shalatku untuk mereka.” [Shahih Al-Bukhari no. 460; Shahih Muslim no. 956]
Dua hadits ini menjadi hujjah yang jelas disunnahkannya pengumuman kematian. Lebih dari itu, pengumuman kematian seseorang juga menjadi perantara bagi jenazah untuk mendapatkan hak-haknya, yaitu dirawat, dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan serta didoakan.
Bahkan ada hadits yang lebih lugas lagi, diriwayatkan Al-Bukhari no. 3547 dari Anas, bahwasanya Nabi memberitahukan kematian Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada orang-orang sebelum kabar kematian mereka sampai. Kala itu Nabi sedang berkhuthbah kemudian bersabda,
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
“Zaid memegang bendera, lalu ia terbunuh. Ja’far memegang bendera, lalu ia terbunuh. Kemudian Ibnu Rawahah memegang bendera, lalu terbunuh.” Berlinanglah air mata Rasulullah, Rasulullah kemudian melanjutkan, “Sampai akhirnya salah satu pedang Allah memegang bendera itu sehingga Allah memenangkan peperangan mereka.”
          Adapun yang terlarang adalah an-na`yu, yaitu pengumuman kematian yang disertai tangisan, penyebutan kebaikan si mayit secara berlebihan, karena an-na`yu merupakan kebiasaan Jahiliyyah ketika ada kematian seorang yang dianggap berpengaruh, mereka mengutus penunggang kuda menuju kabilah-kabilah sambil menangis dan meratapi si mayit dengan berteriak, “Binasalah kita orang-orang Arab karena si fulan telah meninggal.”
          Menyebutkan kebaikan si mayit secara berlebihan atau malah berdusta mengatakan si mayit berbuat kebaikan padahal si mayit semasa hidupnya tidak melakukan kebaikan yang disebutkan, maka ini terlarang secara mutlak. Yang diperbolehkan adalah sekedar menyebutkan kebaikan si mayit apa adanya, hal ini didasari oleh riwayat Al-Bukhari no. 1583, tentang apa yang dilakukan Rasulullah ketika mengabarkan kematian raja Najasyi, “Telah wafat hamba Allah yang shalih.”
Sementara itu, mengumumkan kematian dengan mengeraskan suara juga menjadi perselisihan para ulama. Pendapat pertama, sebagaimana dikatakan beberapa penganut madzhab Hanafi, bahwa hal itu diperbolehkan dan tidak makruh dengan syarat tanpa disebutkan kebaikan-kebaikan si mayit secara berlebihan. Alasan mereka adalah hal itu dapat memperbanyak jama’ah yang menshalatkan dan mendoakan si mayit. Pendapat kedua, seperti digelontorkan oleh mayoritas penganut madzhab Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hanbali, bahwa hal itu makruh, dengan dalil dua hadits dari Hudzaifah dan Ibnu Mas’ud di atas.
Di sini yang rajih adalah pendapat kedua. Karena, sebagaimana diungkapkan Ibnu Hajar dalam Fat-h Al-Bari 3/117, bentuk mengumumkan kematian ala jahiliyyah adalah dengan mengangkat suara (berteriak), disertai meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan dengan berlebihan serta memuji-muji si mayit, maka sekedar mengeraskan suata ketika mengumumkan kematian adalah salah satu bagian dari tradisi jahiliyyah.
Kemudian, soal mengumumkan kematian di media massa dan komunikasi, terdapat dua bentuk; Pertama, hanya sekedar memberitahukan kematian tanpa ditambah dengan meratapi dan memuji secara berlebihan, maka hukumnya boleh, sebagaimana Rasulullah mengabarkan kematian raja Najasyi dan kematian para pemimpin perang. Kedua, jika disertai dengan memuji secara berlebihan, maka terlarang dan termasuk an-na`yu.
Pernah pula terjadi seorang khathib mengumumkan kematian ketika ia sedang berkhuthbah. Status hukumnya juga terbagi menjadi dua. Pertama, jika pengumuman kematian tersebut dibutuhkan manusia, tanpa disertai an-na`yu, maka hukumnya boleh. Hal ini didasari perbuatan Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dari Anas yang terdahulu.
Kebolehan perkara ini juga dikuatkan perbuatan Abu Bakr, tatkala Rasulullah meninggal dunia, dan manusia merasa kehilangan bahkan hampir-hampir iman sebagian shahabat runtuh ketika mendengar kabar menyedihkan ini. Abu Bakr masuk ke tempat Rasulullah, setelah ada kepastian akan wafatnya Rasulullah. Abu Bakr berdiri berkhuthbah, di antara isi khuthbah Abu Bakr waktu itu adalah,
أَمَّا بَعْدُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ
Wa ba’d, barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah Allah, maka Allah Mahahidup.” Kisah ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab shahihnya nomor 4454.
Kedua, jika pengumuman kematian tersebut tidak dibutuhkan, atau manusia tidak merasa kehilangan dengan kematian itu, atau khathib mengumumkan kematian dengan model an-na`yu, maka jelas hukumnya tidak boleh.
Mungkin ada yang ingat tradisi baru-baru ini, yakni seminar biografi tokoh yang telah wafat, di mana dalam acara itu disebutkan kisah hidup sang tokoh semenjak lahir hingga wafat. Hukumnya tidak terlepas dari dua bentuk. Pertama, jika acara ini digelar saat kematian terjadi, sebelum reda perasaan kehilangan, dan menimbulkan kesedihan baru yang semakin mendalam atas kematian, serta menjadikan orang-orang berbuat yang terlarang seperti berteriak histeris, meratapi si mayit, maka ini termasuk an-na`yu, dan hukumnya terlarang. Sementara maqashid asy-syari’ah yang ada adalah meredam luka hati dan kesedihan serta berusaha menjadikan sabar atas kematian yang terjadi. Hal itu telah direalisir melalui ta’ziyyah kepada keluarga yang ditinggal mati, guna meredakan kesedihan bukan untuk menambah kesedihan.
Kedua, jika acara ini digelar setelah penyelenggaraan perawatan jenazah, yaitu ketika kesedihan sudah hilang dan diperkirakan tidak akan timbul kembali, serta acara ini diniatkan untuk meneladani sifat baik sang tokoh yang memang benar-benar termasuk orang yang bertaqwa kepada Allah, maka diperbolehkan dengan syarat tidak disertai hal-hal yang dilarang syari’ah. Hal ini didasari atas perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab yang pernah berkhuthbah jum’at dimana beliau mengenang kehidupan Rasulullah dan Abu Bakar, sebagaimana telah diriwayatkan Muslim no. 567, dari Ma’dan bin Abu Thalhah bahwasanya ‘Umar bin Al-Khaththab berkhuthbah pada hari jum’at, lalu ia menyebutkan tentang Nabi Allah dan menyebutkan tentang Abu Bakar.

Kesimpulannya, apapun ragam pengumuman kematian, sepanjang tidak mengandung an-na`yu dan hal lain yang terlarang, maka diperbolehkan.

Artikel brillyelrasheed.blogspot.com dan brillyelrasheed561.wordpress.com
Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net)

Hadits dari Masa ke Masa

Oleh Brilly El-Rasheed

Hadits adalah berita tentang segala hal yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad. Hadits adalah sumber hukum kedua dalam syariat Islam setelah Al-Qur`an. Hadits adalah penjelas Al-Qur`an. Tanpa Hadits akan banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang tidak dipahami oleh manusia sebab sejatinya hadits adalah ucapan dan perbuatan Rasulullah, dan Rasulullah diutus oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur`an kepada manusia.

          Pada masa Nabi masih hidup, ketika itu ayat-ayat Al-Qur`an masih turun sedikit demi sedikit, Nabi seringkali mensyarah (menerangkan) atau mengomentari ayat-ayat Al-Qur`an agar para shahabat paham dengan Al-Qur`an yang merupakan ucapan Allah. Pada waktu itu, Nabi tidak mengizinkan para shahabat menulis apapun terkait syariat Islam kecuali yang merupakan ayat-ayat Al-Qur`an.
Kala itu, para shahabat hanya diperintahkan untuk fokus dan lebih concern mencatat, menghafal, dan memahami Al-Qur`an. Para shahabat Nabi adalah orang-orang yang memiliki hafalan kuat dan ingatan tajam. Sehingga kebanyakan mereka merasa cukup dengan menghafal tanpa mencatat. Di samping itu Rasulullah pada waktu itu belum mengizinkan mencatat hadits-hadits dari beliau.
          Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah Muhammad berkata,
لَا تَكْتُبُوْا عَنَّيْ شَيْئًا إِلاَّ اْلقُرْآنَ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ اْلقُرْآنَ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوْا عَنِّيْ وَلاَ حَرَجٌ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Janganlah kalian menulis sedikitpun dariku kecuali Al-Qur`an. Barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur`an, hendaknya dia menghapusnya. Dan ceritakanlah dariku, tidak mengapa. Tapi barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduk baginya di neraka.” [Shahih: Mukhtashar Shahih Muslim no. 1861; Shahih Al-Jami’ no. 7434]
Pada saat bersamaan, ada beberapa shahabat yang cerdas dan visioner. Mereka seolah menangkap makna tersirat dari ucapan-ucapan Nabi bahwa akan datang suatu masa yang pada waktu itu hadits-hadits Nabi dilupakan, diabaikan, dan tidak digunakan. Mereka yakin, jika hadits-hadits Nabi tidak dicatat, akan banyak kerusakan di tubuh umat Nabi Muhammad.
Mereka berinisiatif menulis hadits-hadits Nabi, dan mereka simpan baik-baik. Di antara mereka adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Mas’ud, Samurah bin Jundub, dan lainnya. Ada beberapa yang mendapat izin resmi dari Rasulullah di antaranya Abu Syah Al-Yamani dan Anas bin Malik.
Akan tetapi, Nabi melarang menulis hadits-hadits dari beliau itu bukan berarti Nabi tidak peka dengan watak mayoritas manusia yang bersifat sekuler. Nabi melarang itu karena Nabi telah diberi ilham oleh Allah bahwa belum saatnya hadits-hadits dari beliau ditulis. Juga, ditakutkan bercampur aduknya ayat-ayat Al-Qur`an dengan ucapan-ucapan Nabi Muhammad, dimana pada saat itu para shahabat sedang mencatat ayat-ayat Al-Qur`an, tapi juga mereka mendengarkan penjelasan dari Nabi tentang Al-Qur`an.
Dimulainya Penulisan Hadits
Kondisi tersebut terus berlangsung, hingga suatu ketika Rasulullah merasa sudah saatnya diperbolehkan mencatat hadits-hadits dari beliau secara massal oleh para shahabat, yang sebelumnya Nabi hanya memberikan izin kepada beberapa shahabat beliau. Faktor yang ditakutkan, yaitu bercampur aduknya firman-firman Allah dengan ucapan-ucapan beliau, sudah tidak ada. Maka pada saat itu Rasulullah memerintahkan para shahabat beliau untuk mencatat hadits-hadits dari beliau.
Dikisahkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, “Aku biasa menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah karena aku ingin menghafalnya. Maka orang-orang Quraisy melarangku dengan mengatakan, “Jangan engkau tulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah karena Rasulullah itu manusia biasa, bisa berucap dalam keadaan marah maupun senang.” Aku pun berhenti menulis apa yang kudengar. Lalu kuceritakan hal itu kepada beliau. Beliau memberi isyarat dengan jari beliau ke mulut beliau seraya berkata,
اُكْتُبْ! فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
“Tulislah (hadits-hadits dariku). Demi yang diriku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari lisanku kecuali kebenaran.” [Shahih: Shahih Sunan Abu Dawud no. 3646. Shahih Al-Jami’ no. 1196; Ash-Shahihah no. 1532]
Di lain kesempatan, Nabi memerintahkan, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.” [Shahih: Shahih Al-Jami’ no. 4434; Ash-Shahihah no. 2026]
          Rasulullah pernah pula memerintahkan Abu Hurairah  menulis khuthbah yang beliau sampaikan untuk diberikan kepada Abu Syah dari Yaman, “Tuliskanlah (khutbah) untuk Abu Syah ini.” [Shahih: Shahih Sunan Abu Dawud no. 3649]
Waktu terus berjalan, para shahabat menulis hadits-hadits dari Nabi, baik dari hafalan mereka, atau dari kabar shahabat yang lain, atau langsung dari Rasulullah sewaktu beliau masih hidup. Tatkala Rasulullah telah wafat, hadits-hadits beliau masih bertebaran belum terkodifikasi secara utuh. Para shahabat menyebarkannya lewat kajian-kajian yang mereka adakan, juga lewat pertemuan dan perkumpulan.
Ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, para shahabat sepakat untuk mengkodifikasi ayat-ayat Al-Qur`an dalam satu buku (mushhaf), setelah sebelumnya melalui proses diskusi panjang tentang hukum mengkodifikasi Al-Qur`an, dimana pada masa Rasulullah masih hidup, Rasulullah tidak pernah memerintahkannya, tidak juga tersirat perintah itu secara implicit dalam hadits-hadits beliau. Hadits-hadits Nabi masih belum terkodifikasi.
          Kemudian kekhalifahan dijabat oleh ‘Umar bin Al-Khaththab. Al-Baihaqi meriwayatkan dalam Al-Madkhal, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab ingin menulis sebuah kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mengenai hukum (selain ‘aqidah). Kemudian beliau meminta nasehat kepada para shahabat lainnya. Mereka pun memberi masukan supaya beliau menulis sebuah kitab khusus.
’Umar lantas melakukan shalat istikharah memohon petunjuk kepada Allah, selama satu bulan. Keesokan harinya, dengan mantap ’Umar berkata, ”Sebenarnya aku ingin menulis kitab kumpulan hadits. Namun, aku ingat kepada sebuah kaum sebelum kalian yang menulis kitab-kitab, kemudian mereka lebih memperhatikan kitab-kitabnya itu dan meninggalkan Kitab Allah. Demi Allah aku tidak ingin mencampur Kitab Allah dengan sesuatupun selama-lamanya.”
Sang Pelopor Kodifikator
‘Umar bin Al-Khaththab yang mengurungkan niat mulianya itu menjadikan hadits-hadits Nabi belum juga terkodifikasi. Kondisi ini terus berjalan, hingga ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz memegang kekhalifahan. Beliau khawatir jika hadits-hadits Nabi akan hilang ditelan zaman, karena wafatnya para ulama pencatat hadits dan pengemban amanah Tuhan.
Beliaupun menulis surat kepada qadhi Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, “Lihatlah hadits-hadits Nabi, lalu tulislah. Sungguh aku khawatir jika ilmu dan ulama akan sirna. Jangan kamu terima kecuali hadits Rasulullah. Kemudian sebarkanlah ilmu dan duduklah di majelis agar orang yang tidak tahu menjadi tahu. Sesungguhnya ilmu itu tidak akan sirna hingga ilmu itu tersembunyi.”
Beliau juga menulis surat yang sama ke seluruh negeri kaum muslimin kemudian memerintahkan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri Al-Madini supaya menyusun kitab hadits. Dan beliaulah orang yang pertama kali menyusun kitab hadits secara komprehensif. Ini terjadi pada penghujung abad pertama hijriyyah. Setelah itu, pada pertengahan abad kedua hijriyyah, para ulama dari kalangan tabi’in banyak yang mengikuti jejak Az-Zuhri dalam menyusun kitab hadits, di antaranya ’Abdul Malik bin Juraij, ’Abdullah bin Al-Mubarak, Malik bin Anas, dan lainnya.
Kondisi ini terus berjalan hingga datang generasi setelah Atba’ Tabi’ At-Tabi’in. Pada generasi inilah kodifikasi hadits dilakukan lebih komprehensif dan besar-besaran. Para ulama menulis kitab-kitab hadits dengan berbagai corak mulai dari musnad, mushannaf, shahih, jami’, sunan, mustadrak, hingga mustakhraj. Masing-masing kitab hadits ini memiliki nilai yang membedakan dengan lainnya, sehingga di kalangan para ulama ada semacam kategorisasi dan hirarki.
Kebanyakan dari kitab-kitab hadits tidak luput dari keberadaan hadits-hadits dha’if. Maka bangkitlah para ulama ahli hadits untuk melakukan verifikasi memilah hadits-hadits yang shahih dari yang dha’if, munkar, dan maudhu’, agar hadits-hadits Nabi tidak terkotori dengan kedustaan, dan Islam pun tidak rancu atau samar akibat hadits-hadits yang tidak shahih.
Mereka semua ini, nampaknya termotivasi oleh sebuah hadits dari Rasulullah,
نَضَّرَ اللهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِيْ (و في رواية: سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفَظَهُ) فَوَعَاهَا ثُمَّ أَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا
“Semoga Allah mencerahkan wajah seorang yang mendengar perkataanku (dalam riwayat lain: mendengar hadits dari kami, lalu menjaganya) lalu dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar.” [Mutawatir: Shahih Al-Jami’ no. 6763-6766]
Wahai Orang-orang yang Pongah!
Maka, dari sini kita menjadi tahu, sungguh aneh bila ada Muslim yang tidak menerima dan mengambil ilmu dari hadits Nabi yang shahih. Kita juga mengerti, bodoh sekali orang-orang liberalis dan orientalis yang menolak menggunakan hadits dan mempelajarinya serta menuduh bahwa hadits terlambat ditulis, hadits baru dicatat setelah berlalu beberapa generasi.
Sungguh, hanya orang-orang yang cekak akalnya, yang menolak mempelajari hadits-hadits Nabi. Demi Allah, mereka tidak akan lulus dari pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. Dan, kabar gembira bagi mereka dengan siksa kubur hingga hari qiyamah. Ditambah, adzab akhirat yang tidak bisa dicegah. Ingatlah ini, wahai orang-orang yang pongah!

(Lamongan, 14 Shafar 1432)

Artikel brillyelrasheed.blogspot.com dan brillyelrasheed561.wordpress.com

Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net).

Sanad: Kekayaan Intelektual Peradaban Islam

Oleh Brilly El-Rasheed

Generasi yang pernah hidup semasa dengan Rasulullah, ketika Rasulullah belum diutus, adalah orang-orang yang betul-betul sangat menjaga kredibilitas dan validitas suatu fakta, karena di mata mereka, kejujuran adalah pangkal kemuliaan. Mereka begitu jujur karena kemuliaan adalah segalanya. Biarpun mereka adalah musyrik, tapi pantang bagi mereka untuk berdusta. Sehingga, ketika Rasulullah diutus, tradisi mereka ini pun masih terbawa. Mereka selalu mengabarkan segala perihal tentang Rasulullah terkait syariat Islam kepada yang lain, atas dasar kejujuran yang telah menjadi karakter dasar pribadi mereka.

Seperti dituturkan oleh Anas bin Malik, ”Tidak semua yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah, kami mendengarnya langsung dari beliau, akan tetapi, para shahabat kami memberitakannya kepada kami, dan kami adalah kaum yang tidak berdusta terhadap orang lain.” Dan oleh Al-Bara` bin ’Azib, ”Tidak semua dari kami mendengar hadits Rasulullah (secara langsung), karena kami mencari nafkah dan memiliki kesibukan, dan orang-orang pada waktu itu tidak pernah berdusta, sehingga yang hadits menyampaikan kepada yang tidak hadir.” [Al-Kifayah fi ’Ilm Ar-Riwayah, 2/1210-1211]
Namun, sejak pecahnya fitnah kubra, dimana khalifah ’Umar bin Al-Khaththab dan khalifah ’Utsman bin ’Affan menjadi korban pembunuhan berencana, terjadi proliferasi sekte-sekte sesat dan menyimpang, yang menjadi sumber utama bertebarannya hadits-hadits dusta dan palsu atas nama Rasulullah, yang digunakan sebagai legitimasi masing-masing sekte. Dusta atas nama Rasulullah semakin berkembang pada 41 H, pada masa generasi tabi’in. Dan lebih dahsyat lagi pada masa tabi’ut tabi’in. Sebab musababnya mulai fanatisme madzhab, pendeskreditan Islam, diskriminasi etnis dan rasialisme, ekspektasi hampa, hingga tendensi duniawi.
          Para pembesar shahabat yang menyadari kerusakan dan ancaman keruntuhan Islam di masa mendatang akibat dusta atas nama Islam ini, kemudian lebih concern lagi dalam menjaga keotentikan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan menggunakan sistem kritik sanad atau isnad sekaligus kritik matan. Sanad adalah sistem transmisi hadits berupa mata rantai mulai dari shahabat yang membawa hadits langsung dari Rasulullah, kemudian hadits ditransmisikan kepada orang lain, baik satu generasi maupun generasi setelahnya, hingga kodifikator hadits.
Menurut penelitian Prof. Dr. Muhammad Musthafa Al-A’zhami, M.A, Ph.D, peraih nobel Studi Keislaman dari Raja Faishal pada 1980, periwayatan khabar dengan sistem sanad ternyata sudah menjadi tradisi sebelum Islam datang, yaitu yang digunakan dalam kodifikasi Mishna, kitab induk Yahudi, dan juga dalam penukilan syair-syair kaum Jahiliyyah. Akan tetapi sistem sanad pada masa itu digunakan asal-asalan, tidak begitu diperhatikan secara serius.
Pada masa generasi tabi’in lah, sistem sanad benar-benar matang, sebagai langkah preventif sekaligus proteksi terhadap hadits-hadits Nabi dari khabar-khabar dusta. Pada perkembangan selanjutnya sistem sanad diterapkan pula pada periwayatan atsar yaitu khabar dari generasi salaf (shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in). Dan tradisi sistem sanad ini kemudian secara simultan menjadi tradisi intelektual Islam. Para ulama Islam sepeninggal generasi salaf sudah terbiasa dengan tradisi ini, sehingga, dalam meriwayatkan maupun mengkodifikasi khabar dari para salaf maupun dokumen sejarah peradaban Islam, mereka menggunakan sistem sanad.
Kekhususan dari Allah
Generasi salaf paham betul betapa urgennya sanad dalam penjagaan otentisitas Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dokumen sejarah Islam lainnya, dan membentenginya dari pabrikasi (buatan, tambahan) dan manipulasi. Seperti tercermin dari ungkapan ’Abdullah bin Al-Mubarak, ”Isnad adalah bagian dari Din (agama Islam). Jika tidak ada isnad, orang akan mengatakan apa saja yang dia mau.” [Shahih Muslim 1/15] Juga dari penuturan Ibnu Hazm dalam Al-Fishal 2/219, ”Penukilan seorang kredibel dari orang kredibel pula sampai kepada Nabi, disertai sanad yang bersambung, merupakan keistimewaan penukilan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin, dan tidak dimiliki oleh agama-agama lain.”
Senada dengannya adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 1/9, ”Ilmu sanad dan riwayat merupakan keistimewaan yang Allah berikan kepada umat Muhammad. Allah menjadikannya sebagai tangga untuk mengetahui sesuatu. Ahli kitab tidak memiliki sanad dalam mentransmisikan riwayat-riwayat mereka. Demikian pula ahli bid’ah dan sekte sesat dari kalangan umat ini. Sanad ini hanya dimiliki oleh kaum yang telah menerima anugerah besar dari Allah, yang berpegang kepada Al-Islam dan As-Sunnah. Dengan sanad, mereka bisa membedakan antara yang  shahih (otentik) dan yang berpenyakit, yang bengkok dan yang lurus.”
Yang pertama kali mereka lakukan ketika mendapati perkara yang dinisbahkan kepada Islam adalah mengkritisi sanadnya baru kemudian mengkritisi matannya. Mengkritisi sanad tidak sembarangan. Para salaf memiliki standar tersendiri dalam disiplin ilmu ini. Pertama, mereka mengumpulkan daftar periwayat hadits yang hendak dikritisi sanadnya. Kemudian mereka selidiki kapabilitas, integrasi, kredibilitas, kekuatan ingatannya, validitas, dan kejujurannya.
Jika semua syarat validitas sanad telah terpenuhi, maka hadits akan diterima selama matannya juga shahih. Tapi jika tidak memenuhi, maka khabar tersebut akan ditolak, dan divonis sebagai hadits dha’if ataupun maudhu’. Jadi sanad adalah penentu utama otentisitas hadits. Sebagaimana ditandaskan oleh Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, ”Jangan kalian (lebih) memperhatikan (matan) hadits, namun (lebih pusatkanlah) perhatian pada sanadnya. Jika sanadnya shahih, maka amalkanlah (karena sudah pasti shahih pula matannya). Tapi jika tidak, jangan Anda tertipu dengan hadits yang sanadnya tidak shahih.” [Siyar A’lam An-Nubala` 9/188]
Kita lihat keteladanan para salaf terkait sikap tegas mereka dalam hal kritik sanad dan periwayatan, sampaipun pada khabar bukan hadits Nabi. Suatu hari, ‘Ufair bin Ma’dan Al-Kila’i berkata, ”Datang kepada kami ’Umar bin Musa di kota Himsh, lalu kami berkumpul kepadanya di masjid, maka ia berkata, ”Haddatsana (telah bercerita kepada kami) syaikh kalian yang shalih…” Ketika ia telah banyak berkata demikian dan demikian, aku berkata kepadanya, ”Siapakah syaikh kami yang shalih itu, sebutkanlah namanya agar kami dapat mengenalinya.” Ia menjawab, ”Khalid bin Ma’dan” Aku bertanya, ”Tahun berapa engkau bertemu dengannya?” Ia menjawab, ”Tahun 108 H.” Aku berkata, ”Di mana engkau bertemu dengannya?” Ia menjawab, ”Di perang Armenia.” Aku berkata kepadanya, ”Bertaqwalah engkau kepada Allah dan jangan berdusta!! Khalid bin Ma’dan wafat pada tahun 104 H dan tadi engkau mengklaim bertemu dengannya pada tahun 108 H, dan aku tambahkan lagi untukmu bahwa ia tidak pernah mengikuti perang Armenia, namun ia ikut perang melawan Romawi.” [Al-Kifayah fi ’Ilm Ar-Riwayah, 1/119]
Bagaimana dengan Agama Lain?
Di atas adalah satu contoh kecil yang membuktikan betapa tegas dan ketatnya para salaf dalam mentransmisikan khabar apapun. Sekarang coba kita bandingkan dengan kitab-kitab suci agama lain. Ambil contoh Bible. Apakah diketahui siapa yang mentransmisikan Bible itu dari Yesus secara langsung? Apakah diketahui siapa sajakah yang mentransmisikan Bible itu hingga sampai ke tangan penginjil kini? Dan terakhir, apa ada jaminan, bahwa Bible yang ada sekarang adalah Bible yang pertama kali ada dari Yesus? Dijamin, para penginjil tidak akan bisa menjawab tantangan ini.
Sungguh sistem periwayatan dengan kritik sanad adalah satu tradisi intelektual yang tiada bandingnya di dunia, dari dulu sampai sekarang. Kita tidak akan menemukan sistem yang menyamainya sampai kapanpun, sebagaimana dikatakan oleh ’Abdullah bin Thahir, gubernur Khurasan pada masa imperium ’Abbasiyyah, ”Meriwayatkan hadits tanpa disertai isnad termasuk perbuatan orang yang berpenyakit. Sungguh, isnad hadits merupakan karamah (kemuliaan) dari Allah untuk umat Muhammad.” [Tarikh An-Naisaburi]
Ironisnya, para muslim radikal, liberal, dan sekuler memandang remeh sanad itu, bahkan menganggapnya hanyalah omong kosong. Mereka terpengaruh oleh para orientalis, salah satunya Joseph Schacht, yang pertama kalimelontarkan tuduhan bahwa sanad adalah pabrikasi (buatan) para hakim untuk melegitimasi pendapat mereka, yang dikenal dengan teori projecting back. Juga terpengaruh oleh Alois Sprenger, missionaris asal Jerman, yang pertama kali menggulirkan wacana bahwa hadits hanyalah anekdot.
Tidakkah orang-orang yang mengesampingkan sanad itu sadar bahwa misi para orientasli dan missionaris adalah menjauhkan kaum muslimin dari Islam dan agar Islam lenyap dari muka bumi dan ingatan umat Islam? Ingatlah, bahwa awalnya mereka menebarkan keragu-raguan akan eksistensi dan kredibilitas sanad hadits, kemudian matan hadits, kemudian sosok Rasulullah Muhammad, dan yang terakhir menanamkan bahwa Islam adalah agama buatan yang sama sekali tidak bersumber dari Allah. Sadarlah wahai orang yang berakal, ambillah pelajaran, kembalilah ikuti jejak pendahulu kalian, generasi salaf yang diridhai Allah, dan Allah meridhai mereka, dan jangan lagi mengesampingkan sanad! (Lamongan, 27 Ramadhan 1431)
Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah.

Menyoal Perayaan Tahun Baru

Oleh Brilly El-Rasheed

Semarak perayaan datangnya tahun baru demikian meriah digelar di berbagai penjuru. Semua orang berpesta ria merayakannya. Terompet, kembang api, topi pesta, musik, bahkan minuman keras dan pesta seks selalu ada. Setiap tahun manusia tidak lupa untuk menyambut datangnya tahun baru. Bahkan sangat ditunggu-tunggu. Ketika malam pergantian tahun baru, manusia “tumpah-ruah” di lapangan, di jalan-jalan, di alun-alun untuk menanti datangnya tahun baru. Mereka menggelar perayaan sangat meriah. Bahkan rupiah tidak terasa mengalir deras hanya untuk perayaan yang tiada guna.

Bagaimanakah Umat Islam seharusnya menyikapinya? Apakah umat Islam boleh ikut-ikutan merayakan datangnya tahun baru? Baik tahun baru Hijriyyah maupun Masehi. Kita kaji masalah ini dengan merujuk kepada Kitab Suci, Hadits Nabi, dan penjelasan para Ulama Islam dari zaman dahulu hingga saat ini. Semoga tulisan ini membawa pencerahan bagi diri dan umat Islam seluruhnya. Semoga Allah merahmati.
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz At-Tuwaijiri, salah seorang praktisi Da’wah Islam, dalam penelitiannya tentang bid’ah-bid’ah yang tersebar di berbagai penjuru dunia, yang kemudian dibukukan dengan judul Al-Bida’ Al-Hauliyyah (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 1421 H), mengungkapkan, asal mula perayaan tahun baru adalah dilakukan pertama kali oleh orang-orang Persi beragama Majusi. Tahun baru mereka itu disebut Nairuz atau Nuruz. Hari itu adalah hari raya penyembah api. Ada yang mengatakan pencetus perayaan ini adalah Raja Persi pertama, Jamsyad. Perayaan ini mereka dasarkan pada anggapan bahwa hari pertama mulainya perputaran falak, yang lamanya menurut mereka enam hari, dimulai pada tanggal satu bulan Januari, yang merupakan bulan pertama dalam perhitungan tahun mereka
Terkait hal ini, Taqiyuddin Ahmad bin ‘Ali Al-Muqrizi, dalam salah satu karyanya, Al-Khuthath wa Al-Atsar (Kairo: Muassasah Al-Halbi wa Syirkat li An-Nasyr wa At-Tauzi’) jilid I halaman 493, menulis,Tradisi yang kebanyakan dilakukan pada hari raya itu adalah menyalakan api, karena api adalah sesembahan mereka, dan banyak menyiram air. Lantas orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman, dekat sungai dan laut, bercampur antara laki-laki dan wanita, berteriak-teriak, minum khamr secara terang-terangan di antara mereka di jalan-jalan, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khamr, merendahkan kehormatan orang-orang yang tidak ikut serta dalam perayaan itu, lalu mereka menyiramnya dengan air yang bercampur dengan kotoran… dan sebagainya. Semuanya bercampur dengan kefasiqkan dan kerusakan.
Dalam Tanbih Al-Ghafilin ‘an A’mal Al-Jahilin (Riyadh: Mathabi’ Ar-Riyadh), halaman 151, Ibnu An-Nuhas menjelaskan, “Dari sini tampaklah bahwa orang yang mengaku Islam tetapi perhatian kepada perayaan tahun baru bertaqlid kepada nonmuslim dengan berbagai macam perbuatan yang mereka kerjakan pada saat itu. Misalnya memakan makanan khusus, saling menyiram dengan air, keluar ke kebun-kebun, saling melempar ke kolam, laut, dan  sebagainya. Hal ini dapat menimbulkan bahaya, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Mereka mencela orang-orang yang tidak ikut-serta dalam perayaan itu.”
“Perayaan pesta tahun baru adalah tradisi orang-orang kafir sehingga secara syariat mengikuti tradisi ini hukumnya sangat terlarang. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim hadir di perayaan itu dan tidak boleh pula mengucapkan selamat kepada mereka. Barangsiapa yang berdoa pada hari itu, yang tidak dibaca doa itu pada hari-hari selainnya, maka doanya tidak diterima dan barangsiapa yang memberikan hadiah pada hari itu yang tidak biasanya ia berikan pada hari-hari lainnya, maka hadiahnya tidak diterima, khususnya jika hadiah itu menyerupai tradisi mereka,” tegas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dalam bukunya bertajuk Iqtidha` Ash-Shirath Al-Mustaqim jilid II halaman 517.
Dari sini sudah sangat jelas, sejelas matahari di tengah petala, perayaan tahun baru hukumnya haram secara muthlaq. Tidak ada kontroversi di antara para ulama yang kredibel dan berpegang teguh pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan landasan paling mendasar perayaan tahun baru hukumnya haram adalah karena perayaan tahun baru adalah tradisi kaum nonmuslim, otomatis muslim tidak boleh mengikuti tradisi nonmuslim.
Lantas bagaimana dengan perayaan tahun baru Hijriyyah? Bolehkah?
Pada awal tahun Hijriyyah, sebagian negara Islam mengadakan perayaan awal tahun hijriyyah sehingga pada hari itu mereka libur kerja. Menukil penjelasan hasil riset Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz At-Tuwaijiri dalam bukunya Al-Bida’ Al-Hauliyyah, orang yang pertama kali mengadakan upacara peringatan tahun baru Hijriyyah adalah penguasa Daulah ‘Abidiyyah Al-Fathimiyyah di Mesir. Senada dengannya, Al-Muqrizi dalam Al-Khuthath wa Al-Atsar jilid I halaman 490 mengungkapkan, “Para khalifah Fathimiyyah memberikan perhatian yang besar terhadap malam pertama bulan Muharram setiap tahun karena malam itu adalah malam pertama tahun Hijriyyah dan permulaan waktunya.” Kemudian Al-Muqrizi menggambarkan aktivitas mereka pada malam tahun baru Hijriyyah dan bagaimana perhatian mereka terhadapnya.
Al-Imam An-Nawawi, salah seorang Ulama Islam bermadzhab Syafi’iyyah, pensyarah terbaik Shahih Muslim, dalam buku sejarahnya, Nihayah Al-‘Arab jilid I halaman 195, mengatakan bahwa pesta tahun baru adalah tradisi orang-orang Yahudi yang dijelaskan dalam Taurat, yang mereka namakan dengan awal Hisya atau pesta awal bulan, yaitu hari pertama Tasyrin, yang menurut mereka seperti hari raya ‘Idul Adha bagi orang Islam. Mereka beranggapan, Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh Ibrahim untuk menyembelih, anaknya, Ishaq ‘alaihis salam (bukan Isma’il), lalu ditebus dengan kambing yang gemuk.
Mengomentari uraian An-Nawawi ini, dalam Al-Bida’ Al-Hauliyyah, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz At-Tuwaijiri berkata, “Setelah itu datanglah orang-orang Nashrani mengikuti jejak orang-orang Yahudi hingga mereka berkumpul pada malam awal tahun Miladiyyah (Masehi). Dalam perayaan ini, mereka memiliki upacara khusus.” Kemudian beliau menggambarkan upacara perayaan Kaum Nashrani tersebut. Pesta malam tahun baru ini, lanjut beliau, tidak saja dilakukan oleh orang-orang Nashrani saja, melainkan juga di negeri-negeri Islam.
“Taqlid itu juga merembet ke dalam pesta awal tahun Hijriyyah, tetapi bentuk upacaranya berbeda. Tidak diragukan lagi bahwa perayaan malam tahun baru Hijriyyah merupakan perkara baru (muhdats) dan bid’ah, yang tidak dilakukan oleh Nabi, para shahabat, maupun salafus shalih, tabi’in, tabi’ at-tabi’in, ilmuwan, ulama Islam yang empat, dan selainnya,” tegas Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz At-Tuwaijiri.
Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, dalam masterpiecenya, Ishlah Al-Masajid min Al-Bida’ wa Al-`Awa`id (Beirut:Nasyr Al-Maktab Al-Islami, 1399H), menuturkan, sebagian orang ada yang membuat doa-doa khusus malam akhir tahun dan awal tahun hingga doa ini menyebar di beberapa negeri Islam. Mereka mengulang-ulangnya bersama imam-imam mereka di masjid-masjid. Doa ini adalah doa yang tidak diwariskan oleh Nabi shallallah ‘alaih wa sallam, shahabat, tabi’in, dan tidak pula dalam kitab-kitab musnad.
Ada juga bid’ah lain terkait tahun baru Hijriyyah yaitu berpuasa pada akhir tahun dan awal tahun, masing-masing satu hari. Para pelakunya berdalih dengan sebuah hadits dha’if berbunyi, “Barangsiapa berpuasa pada akhir bulan Dzul HIjjah dan awal bulan Muharram, maka dia telah menutup tahun sebelumnya dan membuka lembaran baru tahun yang akan datang dengan puasa yang dijadikan Allah sebagai kafarat lima puluh tahun yang telah lewat.” Hadits ini dinyatakan dha’if oleh Ibnu Al-Jauzi dalam bukunya Al-Maudhu’at (Beirut: Dar Al-Fikr, 1403 H) jilid II halaman 199.
Kita semua tahu, yang menerapkan sistem penanggalan Hijriyyah adalah Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab. Beliaulah pencetusnya. Kemudian penanggalan Hijriyyah terus dipakai sampai Kaum Salib masuk ke perkampungan sebagian umat Islam. Mereka memaksa umat Islam memakai penanggalan Masehi yang mereka buat. Kemudian penanggalan Masehi ini tersebar luas dan kemudian jamak dipakai di berbagai belahan dunia dan dijadikan penanggalan resmi dunia.
Yang menjadi sorotan, terkait pencarian hukum perayaan tahun baru Hijriyyah, apakah sang pencetus penanggalan Hijriyyah, Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab merayakan tahun baru Hijriyyah? Apakah para Shahabat Nabi lainnya ada satu saja yang merayakannya? Ada? Ada riwayatnya? Shahih? Apakah ada di antara para Tabi’in dan Atba’ At-Tabi’in yang merayakan tahun baru penanggalan resmi Umat Islam?  Ada? Sudah pasti jawabannya tidak ada satupun dari para Shahabat, Tabi’in, maupun Tabi’ At-Tabi’in yang merayakan datangnya tahun baru Hijriyyah. Bahkan para imam madzhab yang empat, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad, Al-Imam Malik, dan Al-Imam Hanafi, tidak satupun dari mereka yang merayakan pergantian tahun Hijriyyah. Mereka tidak ada yang membolehkannya. Para Shahabat, Tabi’in, maupun Tabi’ At-Tabi’in, adalah generasi terbaik sepanjang sejarah umat Islam. Mereka ditazkiyyah oleh Allah dan Nabi Muhammad. Bahkan Nabi Muhammad memerintahkan untuk mengikuti sunnah (gaya hidup) Nabi Muhammad dan para Khulafa`ur Rasyidin. Barangsiapa menyelisihi sunnah mereka, berarti telah berbuat bid’ah. Dan bid’ah adalah sesat. Kesesatan tempatnya di neraka.
Lantas dari sini, pasti sudah dapat ditebak, apa hukum merayakan pergantian tahun Hijriyyah? Ya tepat sekali tebakan anda. Perayaan tahun baru Hijriyyah adalah haram hukumnya. Itu bukan syi’ar Islam. Itu bukan amal shalih. Bahkan itu bid’ah dan sikap membeo (taqlid) juga tasyabbuh kepada nonmuslim, dimana mereka merayakan tahun baru mereka. Sehingga perayaan tahun baru Hijriyyah dan Masehi haram hukumnya.
Dalam Al-Bida’ Al-Hauliyyah, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz At-Tuwaijiri menjelaskan, peringatan tahun baru Hijriyyah ini dilarang dalam Islam dari dua sisi; Pertama, larangan mengadakan peringatan tahun baru Hijriyyah diqiyaskan kepada larangan perayaan malam tahun baru Miladiyyah (Masehi). Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa peringatan tahun baru termasuk hari raya Yahudi yang diikuti oleh orang-orang Nashrani dan orang-orang Islam. Menyerupakan diri dengan orang-orang Kafir dilarang Allah subhanahu wa ta’ala dalam KitabNya dan dilarang Rasulullah dalam sunnahnya yang suci. Kedua, dilarang karena termasuk perkara bid’ah, tidak dilakukan para tabi’in, tabi’ at-tabi’in, ulama umat yang populer.
Tidak ada dalam buku-buku sejarah, lanjut Asy-Syaikh At-Tuwaijiri, sebatas yang saya lacak, yang menjelaskan bahwa ada salah seorang di antara para ulama atau penguasa yang mengadakan perayaan awal abad. Seandainya tradisi ini baik, tentu para salaf, pendahulu kita, telah melakukannya karena mereka adalah orang-orang yang paling getol dalam melakukan kebaikan.
Apakah kita, sebagai umat Islam, akan merayakan tahun baru Hijriyyah dan Masehi padahal Nabi dan ketiga generasi terbaik umat Islam, juga para Ulama Islam tidak ada yang merayakannya? Tentu seorang muslim tidak akan mengikuti tradisi perayaan tahun baru.
       Anas mengisahkan, Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab, “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri.” [Sunan Abu Dawud no. 1004]
Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net)