Category Archives: Fiqih Ushul Fiqh

Bersegera dalam Kebaikan

Oleh Brilly El-Rasheed

Ibadah kepada Allah, selain dituntut untuk optimal, juga dituntut untuk secepat mungkin. Bukan dalam artian cepat selesai, namun cepat di sini berarti ketika ada seruan untuk ibadah atau ada kesempatan untuk ibadah, maka seketika itu seorang hamba diperintahkan untuk segera melaksanakannya, atau memanfaatkan kesempatan yang ada.

Karena tidak satupun makhluk yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi. Bisa jadi kesempatan yang pernah tersedia, tidak akan kembali. Rasulullah mengingatkan untuk memanfaatkan kesempatan yang tersedia sebaik mungkin,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
Manfaatkan lima hal sebelum kedatangan lima hal; masa mudamu sebelum masa rentamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa faqirmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu.” [Shahih Al-Jami’ no. 1077]
Rasulullah menghasung para pengikut beliau untuk bergegas beramal shalih sebelum datangnya fitnah qiyamah yang bisa menjadikan seorang muslim murtad, sadar atau tidak. Beliau berkata,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Segeralah kamu berbuat kebaikan sebelum terjadinya berbagai fitnah, bagaikan malam yang gelap. Yang pada saat itu seseorang yang beriman pada pagi hari akan dapat menjadi kafir pada sore harinya. Dan orang yang beriman pada sore hari dapat menjadi kafir pada pagi harinya. Selain itu, ia juga menjual agamanya dengan harta benda dunia. [Mukhtashar Shahih Muslim no. 2047]
Rasulullah mengajak umat beliau untuk banyak melantunkan dzikir tahlil. Selain sebagai latihan ketika kelak maut menjemput, yang mana ketika itu tidak semua manusia bisa mengucapkan tahlil dengan mudah, padahal tahlil adalah sarana husnul khatimah dan kunci surga. Beliau berkata,
أَكْثِرُوْا مِنْ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ قَبْلَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا
Perbanyaklah mengucapkan syahadah (persaksian) La Ilaha Illallah (tiada tuhan yang benar kecuali Allah) sebelum diri kalian dihalangi darinya.” [Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1529]
Tatkala melaksanakan shalat, di samping dituntut untuk segera menunaikan shalat ketika datang waktunya, juga dituntut khusyu’, dengan cara ingat mati, kalau-kalau shalat yang hendak dikerjakannya itu adalah shalat yang terakhir. Rasulullah berkata,
اُذْكُرِ الْمَوْتَ فِيْ صَلاَتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِيْ صَلاَتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلاَتَهُ وَصَلِّ صَلاَةَ رَجُلٍ لاَ يَظُنُّ أَنَّهُ يُصَلِّيَ صَلاَةً غَيْرَهَا وَإِيَّاكَ وَكُلَّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ
“Ingatlah kematian dalam shalatmu, karena kalau seseorang mengingat kematian dalam shalatnya, dia akan berusaha untuk mengoptimalkan shalatnya. Dan shalatlah seperti shalatnya orang yang tidak yakin dia bisa shalat lagi (karena meninggal). Dan jauhilah segala yang menjadikanmu nantinya meminta maaf darinya.” [Ash-Shahihah no. 1421]
Rasulullah menganjurkan kita untuk bergegas melaksanakan shalat ketika telah tiba waktunya. Jangan sampai menunda shalat kemudian baru melaksanakannya ketika waktunya hampir habis. Beliau berkata,
تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
Itulah shalat orang munafiq, Itulah shalat orang munafiq, Itulah shalat orang munafiq. Ia duduk-duduk mengamati matahari. Kalau sudah hampir terbenam, ia shalat empat raka’at dengan terburu-buru dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” [Mukhtashar Shahih Muslim no. 216]
Kendati Allah telah menyediakan (menetapkan) ada awal dan ada akhir waktu masing-masing shalat maktubah, Allah senang sekali jika hamba-Nya mau melaksanakan shalat di awal waktunya.
عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ فَرْوَةَ قَالَتْ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا
Ummu Farwah melaporkan, pernah seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Amal manakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Shalat pada awal waktunya.” [Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 170]
Setelah meriwayatkan hadits ini, At-Tirmidzi mengutip pernyataan Asy-Syafi’i melalui Abu Walid Al-Makki, “Waktu awal shalat adalah waktu yang paling utama. Di antara bukti keutamaan awal waktu shalat  atas akhir waktu shalat adalah Nabi memilihnya, begitu juga Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka tidak memilih kecuali sesuatu yang lebih utama dan mereka tidak akan meninggalkan keutamaan. Mereka senantiasa shalat di awal waktunya.”
Rasulullah sendiri telah memberikan teladan bagaimana pelaksanaan shalat yang sempurna, yang diinginkan Allah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً لِوَقْتِهَا الْآخِرِ مَرَّتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ
‘Aisyah melaporkan, “Rasulullah tidak pernah mengerjakan shalat pada akhir waktunya, (kecuali) dua kali, hingga Allah mencabut nyawa beliau.” [Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 174]
Rasulullah menyeru kita untuk bergegas melaksanakan haji ketika semua syarat telah terpenuhi. Rasulullah melarang menunda-nunda pelaksanaan haji. Beliau berkata,
مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ
Barangsiapa yang ingin menunaikan haji, maka segeralah (melaksanakannya) karena kadang seseorang sakit, binatang yang dikendarainya hilang, dan (atau) ada hajat yang tidak bisa ditinggalkan.” [Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2331; Sunan Ibnu Majah 2/962 no. 2883]
Dalam Al-Qur`an, Allah juga telah menyeru hamba-hamba-Nya untuk segera dan senantiasa bertaubat, meminta ampunan Allah, dan bergegas beramal untuk menuju surga. Allah berfirman,
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian kepada ampunan Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Qur`an surah Ali ‘Imran ayat no. 133]
Begitu pula dalam hal shadaqah, baik yang wajib, yaitu zakat fithri dan zakat mal, maupun yang nafilah (sunnah, tidak wajib), kita diperintahkan untuk bersegera menunaikannya, karena harta yang ada pada kita bisa saja diambil oleh Allah, yang akhirnya tidak ada lagi kesempatan bershadaqah.
Dari Abu Hurairah, Seorang lelaki mendatangi Rasulullah, dan bertanya, “Wahai Rasulullah shadaqah apa yang paling baik?” Beliau menjawab,
أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا أَلَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ
Kamu bershadaqah ketika kamu sehat lagi kikir (berambisi), kamu khawatir menjadi miskin dan ingin kaya. Janganlah kamu menunda-nunda shadaqah hingga ajalmu telah sampai di tenggorokan, saat itu kamu akan berkata, Berikanlah kepada si fulan begini dan kepada si fulan begitu.” Padahal memang sudah pasti hartanya ketika itu diwarisi si fulan.[Shahih Al-Bukhari no. 2689; Shahih Muslim no. 2336]
Rasulullah memberikan sedikit rahasia, mengapa harus segera menunaikan hak harta yaitu shadaqah, yaitu karena akan ada saatnya harta melimpah ruah dan semua manusia kaya raya, sehingga tak satupun orang membutuhkan harta orang lain. Beliau berkata,
وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الرَّجُلَ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ يَطْلُبُ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ فَلَا يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ
“Seandainya kamu berumur panjang, kamu pasti akan melihat seseorang keluar dengan membawa emas atau perak sepenuh telapak tangannya mencari orang yang mau menerima (shadaqah) nya namun dia tidak mendapatkan seorangpun yang mau menerimanya.” [Shahih Al-Bukhari 2/402]
Beliau juga berkata, “(Segera) bershadaqahlah kalian, karena sesungguhnya akan datang kepada kalian suatu zaman di mana seorang laki-laki berjalan dengan membawa shadaqah, namun dia tidak menjumpai seorangpun yang mau menerimanya. Lalu ada seseorang berkata, “Andai engkau membawa shadaqah itu kemarin, saya akan menerimanya. Kalau hari ini, saya sudah tidak membutuhkannya lagi.”.” [Shahih Al-Bukhari 1/357; Shahih Muslim 3/84]
Beliau berkata pula,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ…حَتَّى يُهِمَّ رَبَّ الْمَالِ مَنْ يَقْبَلُ صَدَقَتَهُ وَحَتَّى يَعْرِضَهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ الَّذِي يَعْرِضُهُ عَلَيْهِ لَا أَرَبَ لِي بِهِ
Tidaklah qiyamah terjadi, hingga pemilik harta berharap ada yang mau menerima shadaqahnya, dan hingga ia menunjukkannya kepada yang lain, orang yang ditunjukkan menolak, “Aku tidak butuh lagi.”.” [Shahih Al-Bukhari]
Maka dari itu, kesempatan sekecil apapun, mari kita upayakan memanfaatkannya untuk ibadah kepada Allah. Sudah saatnya kita tidak lagi menunda-nunda rencana (niatan) yang baik atau menunda-nunda kebaikan yang bisa kita kerjakan. Tapi satu hal yang harus dipegang teguh, bahwa kita dituntut untuk optimal dalam mempersembahkan ibadah kepada Allah.

Menggugat Ijma’

Oleh Brilly El-Rasheed

Tingkah polah kaum munafiq dan orang-orang yang terjangkit virus SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) benar-benar membuat geram. Sepak terjang mereka menghapus catatan sejarah peran ulama Islam tidak bisa lagi ditolelir. Seolah para ulama Islam itu tidak pernah ada dan tidak pernah punya kontribusi dan dedikasi terhadap umat Muslim dalam memahami Islam. Ijma’, ijtihad, fatwa, dan taujih mereka tidak ada gunanya dalam pandangan mereka. Padahal, kesemua itu, telah diakui oleh sejarah Islam serta telah termaktub dalam dokumen-dokumen Islam. Mereka tidak menyadari, kedudukan ulama teramat istimewa dalam umat ini.

Allah memuliakan para ulama, mencintai mereka, dan membimbing mereka. Mereka adalah pewaris ilmu para nabi (namun tidak semua yang diklaim sebagai ulama adalah pewaris ilmu para nabi). Rasulullah berkata,
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah yang mewarisi para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” [Shahih Hasan li ghairihi: Musnad Ahmad 5/169; Sunan Ad-Darimi 1/98. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban serta Al-Albani. Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096; Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159; Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182; Shahih At-Targhib no. 70; Shahih Al-Jami’ no. 6297]
Dari hadits ini, kita bisa menyimpulkan, para ulama yang sejati, mereka akan selalu menunjukkan umat manusia kepada yang benar. Mereka tidak mungkin mengarahkan manusia kepada kesesatan.
Sejarah telah mencatat peran dan kontribusi para ulama bagi Islam dan umat Muslim. Mereka telah mempermudah umat Muslim dalam memahami dan mengamalkan Islam. Mereka tersebar dimana-mana. Mereka mendakwahkan Islam dimana saja mereka berada. Kendati mereka berjauhan tempat tapi mereka tetap satu. Mereka walaupun berbeda tempat dan jarang sekali bertemu tetapi ternyata apa yang mereka pahami dari Al-Qur`an dan As-Sunnah sama. Dan kesamaan inilah yang kemudian dinamakan ijma’.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengungkapkan, “Jika jama’ah mereka berpencar-pencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan ijma’. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertaqwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan ijma’.” [Ar-Risalah hal. 475]
Para ulama Islam mendeskripsikan makna ijma’ dengan berbagai ungkapan yang berbeda-beda, yang paling tepat dan mendekati kebenaran adalah definisi yang dibuat Asy-Syaikh Muhammad Shiddiq Hasan Khan, “Kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau, pada masa tertentu atas suatu perkara agama Islam.” [Al-Jami’ li Ahkam Ushul Al-Fiqh hal. 154]
Jadi, tidak semua ijma’ (kesepakatan, konsensus) dianut, harus sesuai dan tidak menyelisihi Al-Qur`an dan As-Sunnah, harus sesuai dengan manhaj (metode beragama) dan sunnah (gaya hidup) Nabi Muhammad dan para salaf yang shalih, harus dari para ulama Islam ahli ijtihad, dan harus terlepas dari unsur-unsur kesesatan. Seperti diutarakan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam 4/544, “Tidak ada ijma’ kecuali pasti berdasarkan nash agama Islam, baik berasal dari ucapan Nabi secara manqul sehingga pasti terpelihara, maupun dari perbuatan beliau yang juga pasti sampai kepada kita secara manqul.”
Dari sini, maka bisa dikatakan kebenaran ijma’ adalah mutlak. Tidak akan pernah salah dan menyelisihi syariat Islam. Abu Hamid Al-Ghazali dalam salah satu bukunya yang bertajuk Al-Mustashfa pada vol. 1 halaman 175 mengakui kehujjahan ijma’, “Banyak riwayat dari Rasulullah dengan berbagai macam redaksi yang berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini terpelihara dari kesalahan secara kolektif. Bahkan semua riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua pihak, baik yang menerima maupun yang menolak ijma’. Umat Islam sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut dalam masalah ushul dan furu’ agama.”
Di buku yang sama (1/174) Al-Ghazali juga mengemukakan, “Ijma’ merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidak akan ada ketetapan ijma’ yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak mungkin sepakat di atas kesesatan, terlebih generasi shahabat dan tabi’in. Maka ijma’ sebagai sumber hukum qath’I tidak sah kecuali berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis. Sehingga mustahil ijma’ bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis.”
Di antara salah satu riwayat tersebut adalah sebagai berikut, Nabi Muhammad berkata,
إن الله تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة ويد الله على الجماعة ومن شذ شذ في النار
“Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. Dan tangan Allah di atas al-jama’ah.” [Shahih: Shahih Al-Jami’ no.1848; Takhrij Misykah Al-Mashabih no.173]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Ijma’ isinya satu (sama), karena semua yang ada dalam Al-Qur`an disetujui Rasulullah dan disepakati umat. Sehingga tidak ada dari umat ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk mengikuti Al-Qur`an. Demikian pula, semua yang disunnahkan oleh Nabi, maka Al-Qur`an telah memerintahkan untuk mengikutinya, dan umat telah sepakat terhadap masalah itu. Demikian pula, seluruh masalah yang kaum muslim telah bersepakat di atasnya, maka itu adalah kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.” [Al-Fatawa, 7/40] Dalam bukunya, Dar` Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1/272, beliau menulis, “Agama kaum muslimin dibangun berlandaskan kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah serta kesepakatan umat (ijma’). Sehingga ketiganya merupakan sumber hukum yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).”
Para ulama sepakat ijma’ bisa menjadi hujjah dalam agama Islam, namun mereka berbeda pendapat apakah ijma’ menjadi hujjah yang qath’i ataukah zhanni. Perbedaan ini terpolar ke dalam tiga kelompok; Pertama, menurut pendapat Al-Asfahani dan inilah pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa ijma’ menjadi hujjah yang qath’i dalam agama Islam. Kedua, ijma’ tidak menerapkan sesuatu kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik ijma’ itu bersandar pada dalil yang qath’i maupun yang zhanni. Ketiga, harus dibedakan antara ijma’ yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qath’i, dengan ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini hanya memberi faedah dan ketetapan hukum yang bersifat zhanni. Dan inilah yang shahih seperti dirajihkan Ibnu Taimiyyah. [Masadir Al-Istidlal ‘ala Masa`il Al-I’tiqad, Asy-Syaikh ‘Utsman ‘Ali Hasan, hal. 56-57]
Sadarlah Wahai Para Penggugat!
        Ijma’ adalah hukum yang harus ditaati sebagaimana Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidak ada satu pun muslim yang boleh terlepas dari Ijma’. Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Jika telah tetap ijma’ pada suatu hukum (di antara hukum-hukum syar’i), maka tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ijma’ mereka.” [Al-Fatawa 10/20] Juga oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, “Generasi penerus tidak boleh menyelisihi kesepakatan ulama generasi sebelum mereka. Karena ijma’ adalah sebuah kebenaran dan termasuk sumber hukum syariat ketiga yang wajib menjadi rujukan hukum agama (Islam).” [Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah 4/169; Manhaj Asy-Syaikh Ibnu Baz hal. 220-221]
Para ulama telah sepakat bahwa setiap muslim wajib tunduk pada ijma’ para ulama yang sesuai dengan syariat Islam. Namun hukum-hukum bagi para penentang ijma’ tidak bisa dipukul rata kufur semua. Para ulama memberikan perincian. Penentangan, penolakan, pengingkaran terhadap ijma’ terbagi dua;
Pertama, orang yang mengingkari ijma sebagai hujjah dan dalil syar’i, menurut sebagian ulama orang ini dihukumi kafir. Seperti ditegaskan penulis Kasyf Al-Asrar, “Barangsiapa mengingkari ijma’, maka ia telah membatalkan seluruh agamanya, karena kebanyakan landasan pokok agama Islam berasal pada ijma’ kaum muslimin.”
Namun secara umum, pokok-pokok agama Islam bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan menurut kebanyakan ulama keduanya menunjukkan adanya ijma’ secara zhanni, tidak qath’i, karena ini masih diperselisihkan . Sehingga seorang yang meningkari ijma’ tidak bisa dikafirkan, namun bisa dihukumi sebagai ahli bid’ah atau fasiq.
Kedua, orang yang menolak hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, maka sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat yang mengkafirkan orang menolak hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah kurang tepat. Karena hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ bertingkat-tingkat;
a.    Hukum yang diketahui secara mudah oleh setiap orang, baik ulama atau kaum awam, seperti masalah tauhid, kenabian Muhammad, kiamat, surga, neraka, syahadat, shalat, puasa, zakat, haji. Haramnya babi, bangkai, darah, dan sebagainya. Barangsiapa mengingkari masalah ini maka jelas ia telah kafir. [Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Ibnu Hazm, IV/553]
b.   Hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ yang qath’i, seperti haramnya menikahi wanita dengan bibinya, haram berdusta atas nama Rasulullah Muhammad, dan semisalnya. Orang yang mengingkari hukum seperti ini, maka bisa dikafirkan, karena dia mengingkari hukum syar’i yang ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i.
c.    Hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ zhanni, seperti ijma’ sukuti atau hukum yang hampir tidak ada yang menyelisihinya kecuali sangat langka. Maka orang yang menolak ijma’ ini divonis sebagai ahli bid’ah atau fasiq, dan ia tidak bisa dikafirkan lantaran menolak dalil yang wajib diamalkan menurut jumhur ulama, walaupun bersifat zhanni.
Ijma’ telah tetap dan menjadi hujjah dalam agama Islam. Tidak ada satu pun umat Islam yang bisa terbebas dari ijma’ sebagaimana tidak ada satu pun umat Islam yang bisa keluar dari ketaatan kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kini, masih adakah orang yang pongah menggugat ijma’? Hanya orang-orang yang bodoh, yang berani menentang ijma’ dan berjalan sendiri melawan arus para ulama yang sejati.

Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net)