Menggugat Ijma’

Oleh Brilly El-Rasheed

Tingkah polah kaum munafiq dan orang-orang yang terjangkit virus SIPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) benar-benar membuat geram. Sepak terjang mereka menghapus catatan sejarah peran ulama Islam tidak bisa lagi ditolelir. Seolah para ulama Islam itu tidak pernah ada dan tidak pernah punya kontribusi dan dedikasi terhadap umat Muslim dalam memahami Islam. Ijma’, ijtihad, fatwa, dan taujih mereka tidak ada gunanya dalam pandangan mereka. Padahal, kesemua itu, telah diakui oleh sejarah Islam serta telah termaktub dalam dokumen-dokumen Islam. Mereka tidak menyadari, kedudukan ulama teramat istimewa dalam umat ini.

Allah memuliakan para ulama, mencintai mereka, dan membimbing mereka. Mereka adalah pewaris ilmu para nabi (namun tidak semua yang diklaim sebagai ulama adalah pewaris ilmu para nabi). Rasulullah berkata,
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah yang mewarisi para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” [Shahih Hasan li ghairihi: Musnad Ahmad 5/169; Sunan Ad-Darimi 1/98. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban serta Al-Albani. Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096; Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159; Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182; Shahih At-Targhib no. 70; Shahih Al-Jami’ no. 6297]
Dari hadits ini, kita bisa menyimpulkan, para ulama yang sejati, mereka akan selalu menunjukkan umat manusia kepada yang benar. Mereka tidak mungkin mengarahkan manusia kepada kesesatan.
Sejarah telah mencatat peran dan kontribusi para ulama bagi Islam dan umat Muslim. Mereka telah mempermudah umat Muslim dalam memahami dan mengamalkan Islam. Mereka tersebar dimana-mana. Mereka mendakwahkan Islam dimana saja mereka berada. Kendati mereka berjauhan tempat tapi mereka tetap satu. Mereka walaupun berbeda tempat dan jarang sekali bertemu tetapi ternyata apa yang mereka pahami dari Al-Qur`an dan As-Sunnah sama. Dan kesamaan inilah yang kemudian dinamakan ijma’.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengungkapkan, “Jika jama’ah mereka berpencar-pencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan ijma’. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertaqwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan ijma’.” [Ar-Risalah hal. 475]
Para ulama Islam mendeskripsikan makna ijma’ dengan berbagai ungkapan yang berbeda-beda, yang paling tepat dan mendekati kebenaran adalah definisi yang dibuat Asy-Syaikh Muhammad Shiddiq Hasan Khan, “Kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau, pada masa tertentu atas suatu perkara agama Islam.” [Al-Jami’ li Ahkam Ushul Al-Fiqh hal. 154]
Jadi, tidak semua ijma’ (kesepakatan, konsensus) dianut, harus sesuai dan tidak menyelisihi Al-Qur`an dan As-Sunnah, harus sesuai dengan manhaj (metode beragama) dan sunnah (gaya hidup) Nabi Muhammad dan para salaf yang shalih, harus dari para ulama Islam ahli ijtihad, dan harus terlepas dari unsur-unsur kesesatan. Seperti diutarakan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam 4/544, “Tidak ada ijma’ kecuali pasti berdasarkan nash agama Islam, baik berasal dari ucapan Nabi secara manqul sehingga pasti terpelihara, maupun dari perbuatan beliau yang juga pasti sampai kepada kita secara manqul.”
Dari sini, maka bisa dikatakan kebenaran ijma’ adalah mutlak. Tidak akan pernah salah dan menyelisihi syariat Islam. Abu Hamid Al-Ghazali dalam salah satu bukunya yang bertajuk Al-Mustashfa pada vol. 1 halaman 175 mengakui kehujjahan ijma’, “Banyak riwayat dari Rasulullah dengan berbagai macam redaksi yang berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini terpelihara dari kesalahan secara kolektif. Bahkan semua riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua pihak, baik yang menerima maupun yang menolak ijma’. Umat Islam sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut dalam masalah ushul dan furu’ agama.”
Di buku yang sama (1/174) Al-Ghazali juga mengemukakan, “Ijma’ merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidak akan ada ketetapan ijma’ yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak mungkin sepakat di atas kesesatan, terlebih generasi shahabat dan tabi’in. Maka ijma’ sebagai sumber hukum qath’I tidak sah kecuali berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis. Sehingga mustahil ijma’ bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis.”
Di antara salah satu riwayat tersebut adalah sebagai berikut, Nabi Muhammad berkata,
إن الله تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة ويد الله على الجماعة ومن شذ شذ في النار
“Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. Dan tangan Allah di atas al-jama’ah.” [Shahih: Shahih Al-Jami’ no.1848; Takhrij Misykah Al-Mashabih no.173]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Ijma’ isinya satu (sama), karena semua yang ada dalam Al-Qur`an disetujui Rasulullah dan disepakati umat. Sehingga tidak ada dari umat ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk mengikuti Al-Qur`an. Demikian pula, semua yang disunnahkan oleh Nabi, maka Al-Qur`an telah memerintahkan untuk mengikutinya, dan umat telah sepakat terhadap masalah itu. Demikian pula, seluruh masalah yang kaum muslim telah bersepakat di atasnya, maka itu adalah kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.” [Al-Fatawa, 7/40] Dalam bukunya, Dar` Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 1/272, beliau menulis, “Agama kaum muslimin dibangun berlandaskan kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah serta kesepakatan umat (ijma’). Sehingga ketiganya merupakan sumber hukum yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).”
Para ulama sepakat ijma’ bisa menjadi hujjah dalam agama Islam, namun mereka berbeda pendapat apakah ijma’ menjadi hujjah yang qath’i ataukah zhanni. Perbedaan ini terpolar ke dalam tiga kelompok; Pertama, menurut pendapat Al-Asfahani dan inilah pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa ijma’ menjadi hujjah yang qath’i dalam agama Islam. Kedua, ijma’ tidak menerapkan sesuatu kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik ijma’ itu bersandar pada dalil yang qath’i maupun yang zhanni. Ketiga, harus dibedakan antara ijma’ yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qath’i, dengan ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini hanya memberi faedah dan ketetapan hukum yang bersifat zhanni. Dan inilah yang shahih seperti dirajihkan Ibnu Taimiyyah. [Masadir Al-Istidlal ‘ala Masa`il Al-I’tiqad, Asy-Syaikh ‘Utsman ‘Ali Hasan, hal. 56-57]
Sadarlah Wahai Para Penggugat!
        Ijma’ adalah hukum yang harus ditaati sebagaimana Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidak ada satu pun muslim yang boleh terlepas dari Ijma’. Hal ini ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Jika telah tetap ijma’ pada suatu hukum (di antara hukum-hukum syar’i), maka tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ijma’ mereka.” [Al-Fatawa 10/20] Juga oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, “Generasi penerus tidak boleh menyelisihi kesepakatan ulama generasi sebelum mereka. Karena ijma’ adalah sebuah kebenaran dan termasuk sumber hukum syariat ketiga yang wajib menjadi rujukan hukum agama (Islam).” [Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’ah 4/169; Manhaj Asy-Syaikh Ibnu Baz hal. 220-221]
Para ulama telah sepakat bahwa setiap muslim wajib tunduk pada ijma’ para ulama yang sesuai dengan syariat Islam. Namun hukum-hukum bagi para penentang ijma’ tidak bisa dipukul rata kufur semua. Para ulama memberikan perincian. Penentangan, penolakan, pengingkaran terhadap ijma’ terbagi dua;
Pertama, orang yang mengingkari ijma sebagai hujjah dan dalil syar’i, menurut sebagian ulama orang ini dihukumi kafir. Seperti ditegaskan penulis Kasyf Al-Asrar, “Barangsiapa mengingkari ijma’, maka ia telah membatalkan seluruh agamanya, karena kebanyakan landasan pokok agama Islam berasal pada ijma’ kaum muslimin.”
Namun secara umum, pokok-pokok agama Islam bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan menurut kebanyakan ulama keduanya menunjukkan adanya ijma’ secara zhanni, tidak qath’i, karena ini masih diperselisihkan . Sehingga seorang yang meningkari ijma’ tidak bisa dikafirkan, namun bisa dihukumi sebagai ahli bid’ah atau fasiq.
Kedua, orang yang menolak hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, maka sebagian ulama menyatakan bahwa pendapat yang mengkafirkan orang menolak hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah kurang tepat. Karena hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ bertingkat-tingkat;
a.    Hukum yang diketahui secara mudah oleh setiap orang, baik ulama atau kaum awam, seperti masalah tauhid, kenabian Muhammad, kiamat, surga, neraka, syahadat, shalat, puasa, zakat, haji. Haramnya babi, bangkai, darah, dan sebagainya. Barangsiapa mengingkari masalah ini maka jelas ia telah kafir. [Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Ibnu Hazm, IV/553]
b.   Hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ yang qath’i, seperti haramnya menikahi wanita dengan bibinya, haram berdusta atas nama Rasulullah Muhammad, dan semisalnya. Orang yang mengingkari hukum seperti ini, maka bisa dikafirkan, karena dia mengingkari hukum syar’i yang ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i.
c.    Hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ zhanni, seperti ijma’ sukuti atau hukum yang hampir tidak ada yang menyelisihinya kecuali sangat langka. Maka orang yang menolak ijma’ ini divonis sebagai ahli bid’ah atau fasiq, dan ia tidak bisa dikafirkan lantaran menolak dalil yang wajib diamalkan menurut jumhur ulama, walaupun bersifat zhanni.
Ijma’ telah tetap dan menjadi hujjah dalam agama Islam. Tidak ada satu pun umat Islam yang bisa terbebas dari ijma’ sebagaimana tidak ada satu pun umat Islam yang bisa keluar dari ketaatan kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kini, masih adakah orang yang pongah menggugat ijma’? Hanya orang-orang yang bodoh, yang berani menentang ijma’ dan berjalan sendiri melawan arus para ulama yang sejati.

Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net)

About quantumfiqih

Quantum Fiqih hanyalah sebuah rumus sederhana yang mencoba memudahkan untuk mempelajari Islam secara singkat namun mendalam.

Posted on Mei 30, 2012, in Fiqih Manhaj, Fiqih Ushul Fiqh. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar